Tiga bulan penuh mereka melewati malam-malam yang hampir sama, Segara yang insomnia karena perasaan bersalah, lalu Anjani yang menemaninya dengan berbagai persuasi positif. Segara juga mulai sering membaca berbagai penelitian tentang terapi homoseksual, lalu berkonsultasi pada Anjani. Jurang terjal kecanggungan di antara mereka telah meluruh.
“Kalau kita pindah rumah. Kamu mau?” tanya Anjani di suatu malam. Mereka memang tinggal di rumah kontrakan Segara yang dulu.
“Ada efeknya ke proses terapiku?” tanya Segara balik, mendekatkan wajahnya ke hadapan Anjani yang tidur di atas ranjang.
“Belum tahu sih, tapi kan kamu punya banyak kenangan di sini. Tinggal tujuh tahun, ngapa-ngapain bareng dan…,”
“Kamu cemburu?” sela Segara, lalu memicingkan mata, mengamati wajah Anjani.
“Enak aja, aku orangnya cukup percaya diri, kok. Lagian…,” Anjani menarik selimut hingga menutup wajahnya.
“Lagian kenapa?” tanya Segara penasaran, menarik selimut Anjani lalu ikut masuk ke dalamnya.
“Engga jadi deh, tidur aja.”
“Lagian apa? Penasaran tau!” Segara berbisik di telinga Anjani yang memejamkan mata.
Anjani berbalik memunggungi Segara, mengatupkan matanya, berusaha menguasai emosi. Ia kesal ketika Segara berada terlalu dekat dengannya. Sedangkan hubungan mereka tak pernah beranjak ke mana pun.
***
Setiap minggu pagi Segara bangun lebih awal, menyiram tanaman, menyapu halaman, menyiapkan susu hangat untuk Anjani yang masih meringkuk di kasur. Lalu setelah semuanya selesai, Segara kembali masuk ke kamar, menatap Anjani yang masih memeluk guling.
“Jalan-jalan, yuk, udah siang,” ajak Segara sambil menepuk-nepuk lengan Anjani.
“Hm, ke mana, sih?” tanya Anjani mengerjapkan mata, lalu duduk sambil menyisir rambut dengan jemarinya.
“Minum dulu.” Segara menyerahkan segelas susu hangat.
“Thank you.”
“Kamu belum pernah ke pasar seberang sungai, kan? Yuk beli bahan, kita masak bareng.”
“Aduh, tapi aku males mandi ah, masih pagi.”
“Kamu mandi atau engga sama aja, sama kusutnya,” sergah Segara, menarik lengan Anjani yang masih duduk.
Mereka berjalan beriringan keluar gang perumahan, menyeberangi jalan raya, lalu berjalan ke belakang rumah penduduk. Di sana, ada saluran irigasi yang cukup besar, Segara menamainya sungai. Mereka berdebat sambil tertawa sepanjang jalan, tentang perbedaan sungai, irigasi, danau, embung, dan waduk. Segara tak mau kalah, apa lagi Anjani.
Anjani tak bisa memasak, tugasnya hanya duduk di kursi dapur sambil memutar resep masakan dari Youtube. Segara sibuk membersihkan bahan makanan, lalu sesekali menatap Anjani yang berusaha mencerna kalimat chef dari video yang ia putar.
“Kamu percaya aku aja, deh, mending kamu jadi asistenku. Engga usah sok membenarkan resep di internet. Nanti kalau bahan yang mereka sebutin engga ada, kita bingung, engga jadi masak, engga jadi makan.” Segara mengomel. Ia memasang celemek berwarna biru dongker. Perlahan, berjalan meraih tangan Anjani, memintanya berdiri, lalu memakaikan celemek dengan warna yang sama.
“Iya, iya. Kamu kalau udah ngomel mending aku nurut deh, daripada engga jadi makan.”
“Nah, gitu dong. Sekarang kupas bawang putih delapan, potong bawang bombai.” Segara memeberi perintah, tersenyum bangga.
“Hm, iya. Besok aku kursus masak aja lah, biar kamu yang jadi asisten! Aku tinggal nyuruh-nyuruh,” kata Anjani, meski ia tetap mengambil pisau dapur, lalu menuruti permintaan Segara.