“Dia masuk perangkap, kita tunggu pergerakannya mau dibawa ke mana barang itu.” Salma berbicara dengan tatapan penuh percaya diri.
“Tapi engga ada titik terang buat kasus adikku. Percuma aja. Itu hanya bagus buat karirmu!” jawab Alan tersenyum kecut.
“Kamu pikir ini ada hubungannya sama aku? Kasus perederan barang sebesar ini engga mungkin di tanganku. Aku cuma dapat informasi, bukan aku yang punya tanggung jawab. Kenapa aku perhatikan kasus ini? Karena pasti ada kaitannya sama kematian Af.”
“Hansen yang bunuh adikku? Karena apa? Karena dia cemburu sama Afrizal? Engga masuk akal! Wong sampai hari ini yang tahu fakta bahwa Af seorang gay ya hanya aku, kamu, sekarang Segara.”
“Kamu lupain Dana,” sela Salma, “kemungkinannya masih bercabang. Kemarin aku dihubungi Segara, dia bilang kalau Dana sekarang pacaran sama laki-laki. Kemungkinan besar Dana juga selama ini bertopeng, pura-pura aseksual, entah karena apa. Sinta juga punya kemungkinan yang sama. Kamu engga bakal nyangka, kan? Kalau Sinta yang ngambil barang itu di bandara. Padahal menurut informanku selama ini Sinta yang terlihat paling polos.”
“Siapa sih informanmu? Valid engga?”
“Kamu engga kenal, yang jelas kita punya tiga topeng yang masih harus dibuka. Pelakunya pasti salah satu di antara mereka. Meski Devina tak punya alasan untuk membunuh Af, tetapi aku engga pernah menutup peluang. Apalagi buat orang-orang yang terbiasa melakukan tindak kriminal. Membunuh satu nyawa tanpa alasan pun bisa mereka lakukan buat kesenangan.”
***
Hampir sebulan penuh Segara dan Anjani menikmati hari-hari yang harusnya dicecap di awal pernikahan. Kini Segara selalu tidur pulas, tak ada lagi insomnia karena rasa takut, atau mimpi buruk. Ia tak tahu, pelukan Anjani adalah tempat yang paling nyaman untuk relaksasi, meluruhkan semua rasa bersalah, berdosa, keraguan, dan segala kecemasan.
“Makasih, ya,” ujar Segara menggenggam tangan Anjani yang berbaring di sampingnya.
“Buat apa?”
“Your support and presence.”
“Kamu percaya engga kalau dunia ini penjara?” tanya Anjani mengalihkan pembicaraan, menerawang menatap langit-langit kamar, tangan mereka masih bertaut.
“Banyak aturan maksudnya?”
“Iya, begitu kita lahir, kita sudah dikerangkeng dalam batas-batas yang disebut sebagai norma. Banyak banget, mulai dari norma yang dibuat negara, budaya, values dalam keluarga, lebih strict lagi, agama.”
“True! Aku pernah berada di luar penjara itu, menikmati hidup di luar batas yang ditetapkan semuanya. Di Indonesia, di Islam, di Lombok, lebih-lebih keluarga kita, engga ada yang bakal nerima homoseksual.”
“Gimana rasanya? Kamu senang ketika berada di luar segala norma itu, kamu merasa itu adalah dirimu sendiri?” tanya Anjani.
“Aku sendiri engga yakin apa yang disebut sebagai diri sendiri, selain sesuatu yang kita lakoni dengan nyaman. Kalau diingat-ingat lagi, aku lebih sering merasa insecure. Jujur, aku engga bakal mau seumur hidup kayak gitu.” Segara membelai rambut Anjani yang lurus hingga bahu.
“Hidup dalam penjara seperti ini membuat kita terbelenggu, engga bisa merasa bebas, feel like a bird. Melakukan segala sesuatu tanpa mengindahkan orang lain.” Anjani melanjutkan.
“Aku lebih tenang kayak gini, hidup di luar penjara norma jauh lebih kejam karena tidak ada aturan. Mereka hanya mengandalkan nurani yang kadang luput. Apalagi kalau lama engga didengarkan. Aku ingin selamanya begini.”
Anjani menjawab dengan senyuman, lalu bergelung di dada Segara bagai seekor kucing. Lantas mereka tertidur dalam semesta yang baru.
***
“Kayaknya nanti sore aku engga balik, deh. Engga apa-apa, ya?” tanya Anjani pagi itu sembari berpakaian.
“Kenapa? Mau tidur di mana?” tanya Segara balik. Ia juga sedang bersiap-siap bertemu klien. Memakai kemeja lengan panjang berwarna hitam.
“Kayaknya tidur di kantor, deh, banyak banget kerjaan. Kalau engga, aku numpang tidur di rumah Laras, soalnya lembur bareng dia. Kalau selesainya tengah malam, aku engga berani balik sendiri.”
“Aku jemput aja kalau udah selesai.”
“Kamu tidur aja, jarak kantor sama rumah kan juga jauh, dari ujung ke ujung,” sergah Anjani dalam balutan pakaian kerja. Mereka duduk di meja makan, melahap roti tawar isi cokelat yang dibuat Anjani. Satu-satunya menu andalan yang ia sajikan tiap pagi.
“Engga, ah, kamu punya suami yang bisa jemput kok,” tukas Segara ketus. Lalu menghabiskan segelas susu putih di atas meja.
“Serius, aku pengen nginep aja, capek juga soalnya bolak-balik. Paginya aku harus buru-buru berangkat lagi.”
“Ya sudah, deh, engga apa-apa. Maksudku kalau pertimbanganmu hanya karena biar aku engga repot jemput. Ya aku engga mau, aku engga merasa repot kok. Tapi kalau pertimbanganmu kamu capek karena jauh, ya sudah.”
“Thank you,” ujar Anjani, lalu mendaratkan ciuman di pipi Segara.
“Hush, sengaja kan nempelin bekas susu!” tukas Segara menggosok pipinya yang basah.
Mereka melaju ke arah yang berlawanan, membawa kendaraan masing-masing. Perasaan Segara terasa ringan, beban di pundaknya seperti menghilang. Begitu pula Anjani, ragu yang selama ini mengurungnya telah meluruh. Ia terbebas, lepas, seperti seekor burung yang terbang tinggi.
***
Salma menyalakan mobilnya dengan tergesa, menjemput Alan, lalu melaju menuju sebuah rumah di bagian selatan kota Jogja. Lantunan azan magrib terdengar di sepanjang jalan.
“Kamu yakin dia orangnya?” tanya Alan meski fokus mengemudi.
“Aku barusan dapat telepon dari temanku waktu di akpol, namanya Farid. Dia anggota reskrim di Pontianak sekarang. Dia yang cerita kalau Kasat Narkoba di Polda sana punya anak, namanya Lana. Dia ditemukan bunuh diri di kamarnya dengan meminum racun.”
“Lana selingkuhannya Hansen?” kening Alan berkerut.
“Hansen yang meracuninya dengan skenario seolah Lana bunuh diri karena patah hati. Padahal Hansen yang membuatkan susu hangat sebelum pergi. Di sana masih menunggu hasil otopsi, tapi kemungkinan terbesarnya itu.”
“Shit! Kenapa Farid bisa yakin kalau Hansen pelakunya?” tanya Alan penasaran.
“Tim mereka menelusuri jejak hidup Hansen. Ternyata Hansen pernah punya catatan kriminal hingga tiga kali, waktu itu usianya masih dua belas. Hansen melukai temannya pakai pisau dapur, ia membunuh anjing peliharaan tetangganya, ia juga dicurigai membunuh ibunya yang mengidap skizofrenia.”
“Katanya kalian udah cek semua latar belakang orang-orang RPS, kok catatan kriminal semengerikan itu tidak dijadikan amunisi waktu introgasi kematian Af?”