Perspektif Hati

Oyenart
Chapter #3

Pengalaman yang tak bisa ku bagi

Malam kian larut. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Udara Bandung mulai dingin. Keempat keponakanku sudah terlelap. Seharian ini, setelah insiden pagi tadi yang di buat rusuh oleh ibu RT dan tim arisan tetangga sini, rasa kesalku berangsur-angsur hilang tatkala geng arisan itu bubar lalu keluarga adik-adikku datang satu persatu.

Adik keduaku, Husnul datang bersama suami dan kedua anaknya, Nirmala yang berusia empat tahun, dan Niana yang masih bayi berumur tiga bulan. Selang dua jam kemudian keluarga adik pertamaku datang. Ainun meramaikan suasana dengan suami dan kedua anak kembarnya, Musa dan Harun. Lalu menutup malam, suami adik bontotku si Sabila datang membawa sekarung jagung untuk di bakar.

 Kini aku sedang berada di halaman belakang. Duduk di kursi ayunan sambil memerhatikan adik - adikku, yang kini mereka sedang bercanda ria dengan pasangannya masing-masing. Ainun yang terkekeh mendengar celotehan suaminya yang ekstrovert. Husnul yang duduk memunggungi suaminya, minta di pijat pundaknya karena seharian pegal menggendong Niana. Dan Sabila yang asyik membakar jagung sambil bercanda dengan suaminya.

Sesungguhnya ini adalah pemandangan yang begitu menyejukkan. Damai melihatnya. Tapi, jauh di dalam lubuk hati ini, aku juga merasa iri dan sedih. Andai saja aku sudah punya pasangan, mungkin aku dan suamiku akan melakoni hal seperti mereka. Dan andai aku sudah punya anak, mungkin aku bisa ikut curhat mengeluhkan kelakukan anakku yang menguji kesabaran, atau cerita kelakuan lucu anakku yang membuat semua orang tertawa mendengarnya.

"Husnul ! Niana bangun nih, pengen nen kayanya" ujar Amih di ambang pintu dapur, Husnul menoleh dan segera berlari masuk kedalam rumah.

"Baru mau mulai romantis eh di ganggu dedek bayi, ngeselin emang!"

Aku menengok ke samping kananku, di sana Ainun sudah duduk sambil memeluk bantal kecil. Ainun menyenderkan punggungnya dan menganyunkan ayunan yang sedang kami duduki.

"Kok jadi kamu yang protes? Itu kan bayinya Husnul" tanyaku sembari mengkerutkan kening.

"Yah, jadi inget aja masa-masa si kembar pas masih bayi, apalagi kalau mereka bangun, satu bangun yang satunya nyusul, harus super ekstra tenaga ngurus mereka mah" jelas Ainun sambil terkekeh membuatku ikut tersenyum. Lalu perhatian kami teralihkan pada Sabila yang berlari memasuki rumah.

"Kenapa lagi tuh si bontot?" Tanyaku masih menatap pintu dapur 

"Biasa, kalau lagi ngisi mah kan gitu, bawaannya dikit-dikit pengen pipis" jawab Ainun membuatku terkejut.

"Hah?! Sabila hamil???" Pekikku.

"Iya Teh, kok kaget gitu? Emang dia belum kasih tahu?" Kini Ainun balik tanya, aku menggeleng dengan cepat.

"Eh...dasar si magadir! Kirain Teteh udah tahu, kan Teteh yang datang duluan"

"Em...dia lupa kali" jawabku dengan nada kecewa.

"Oy bontot! Sini kamu!" Panggil Ainun ketika melihat Sabila keluar dari dapur

"Apa sih Teh?" Tanya Sabila sewot. Sabila mendekati kami dan duduk di kursi sebelah ayunan.

"Eh, kamu belum cerita ke Teh Khaira kalau kamu hamil?" Tanya Ainun

"Belom"

"Beeeuuhh" Ainun memukul wajah Sabila dengan bantal yang sedari tadi di peluknya.

"Ya gimana mau cerita? Teh Khaira dari datang langsung tidur, terus ngerem diri di kamar!" Jelas Sabila. Aku tersenyum, ya memang benar begitu sih. Setelah mendengar kata-kata dzolim ibu-ibu arisan, aku mengunci diri di dalam kamar. Tentu saja Sabila pasti enggan menggangguku.

"Lagian kalau cerita ke Teh Khaira kan percuma juga, Teh Khaira belum pernah hamil, jadi belum punya pengalaman yang bisa di bagi" sambung Sabila membuat Ainun kembali memukul wajahnya dengan bantal kedua kalinya.

"Jangan di pukul terus atuh Teh! Nanti aku pesek!" Protes Sabila.

"Ehe...jangan di masukin ke dalam hati ya Teh, Teteh tahu sendiri bocah ini mah ngomongnya asal jeplak" hibur Ainun padaku.

"Tapi memang bener, kalau cerita ke yang udah pengalaman mah kan lebih bisa percaya, kalau tanya ke yang belum pengalaman sama aja bohong. Mending searching-searching" ujar Sabila dengan wajah cemberutnya.

"Ini anak gak peka!" Desis Ainun sambil melirik tajam pada Sabila, aku tersenyum dengan menelan rasa pahit. Ah sudahlah, mereka tak perlu bertengkar hanya karena aku yang belum punya pengalaman hamil kan?

Lihat selengkapnya