Pertama Dan Terakhir

silvi budiyanti
Chapter #1

Hidup Di Era Gemilang

Habibie Nur Julianto, mereka memanggilku Habibie. Hari ini kelulusan kuliahku dari Universitas Harvard, hampir enam tahun aku mengenyam pendidikan dan hidup di Amerika, Aku kuliah di fakultas Harvard Law School, dengan Indeks Prestasi Kerja 3,8 prestasi yang lumayan membanggakan. Wanita mana yang tak tergila-gila denganku. Hanya dia, Elisabeth Rose, wanita yang selalu aku kagumi. Dia berasal dari kota Paris, rambutnya yang panjang, pirang, matanya yang lentik, sungguh bagai boneka cantik yang berjalan. Kami sangat dekat beberapa tahun ini, bisa di bilang memiliki hubungan khusus.

Mama dan papaku hadir di acara kelulusan akademisku ini, mereka hidup di Jakarta dengan kedua adikku, Rahman dan Alif. Rahman kuliah di Belanda mengambil fakultas teknik, sedangkan Alif baru lulus Sekolah Menengah Atas dan baru akan memilih fakultasnya di Jepang. Papaku seorang diplomat dan pengusaha tekstil di Jakarta. Sedangkan mamaku hanya ibu sosialita dengan seribu kesibukannya. Mereka meminta aku kembali di Jakarta, dan membuka bisnis atau kantor pengacara seperti profesi yang aku geluti saat ini. Dan satu hal yang membuat aku tak berkutik, mereka mengancam tidak akan memberiku uang saku jika aku tidak menuruti. Hal yang paling aku kesal adalah, mereka akan menarik segala fasilitasku. Hatiku sesungguhnya ingin bertahan di sini, Ya Amerika negara yang telah aku cintai, dengan segala kebebasan dan keterbukaannya. Kota megapolitan yang di dambakan semua orang untuk hidup, berkarier dan mengejar kehidupan.

”Aku tidak ingin pulang Ma, Pa, di sini duniaku!”

“Tidak ada tawar-menawar, siapa yang akan melanjutkan bisnis Papa! Kamu pun bisa menjadi pengacara sesuai dengan profesimu."

“Mas, kalau anaknya nyaman dan ingin hidup di sini! Kenapa tidak boleh?”

“Tidak, Aku sudah putuskan, dan semua sudah bulat, seperti yang Aku bilang dua minggu lalu, Habibie pulang bersama kita satu minggu lagi! Atau bertahan hidup sendiri di sini, tanpa fasilitasku.”

Tak ada yang bisa merayu keputusan papa, berat atau tidak, dengan terpaksa aku menurutinya. Untuk kali ini aku tidak bisa membantah dan membangkang.

Aku banting pintu apartemenku, dengan sangat keras karena menahan emosi terhadap papa.

“Habibie, where are You going?

”Night Club.”

“Itu yang Kau banggakan? Apa anakmu itu tahu aturan agama?”

“Kau terlalu kolot, sudah Aku malas berdebat denganmu, Aku ingin Shopping saja.”

“Ya Tuhan, dosa apa hamba ini!”

Lihat selengkapnya