Pagi berikutnya, aku sedang melamun di lapangan, dengan teman-temanku yang bermain basket. Aku dihampiri oleh senior-senior kemarin yang menyebalkan. Mereka dengan nada sok cool-nya mengajakku bermain bulu tangkis 1 lawan 1. Kalau aku menang, aku boleh meminta apapun kepada mereka. Tapi, kalau aku kalah, mereka akan terus mengangguku sampai mereka lulus nanti. Kesepakatan macam apa ini? Tentu aku jauh lebih dirugikan dibanding mereka.
Selain mahir dalam bermain basket, aku juga mahir dalam bermain bulu tangkis. Tapi, kutolak tawaran mereka yang tidak adil itu. Mereka mengganti kesepakatannya, kalau aku kalah, aku harus menjadi budak mereka. Bodoh, mereka sangat bodoh dalam membuat kesepakatan. Mana ada orang yang mau mengambil kesepakatan itu.
“Ya, udah. Kita ganti lagi.”
Mereka ganti lagi, dasar plin-plan. Kalau aku kalah, aku harus mentraktir semua makanan dan minuman yang mereka beli di kantin. “Enak aja.” protesku.
Mereka tuh kalau makan sudah seperti orang yang tidak diberikan makanan selama 3 bulan, rakus nya minta ampun. “Udah lah udah, kesepakatannya gak masuk akal dan gak adil. Gua gak mau main bulu tangkis sama kalian.” kataku sambil meninggalkan mereka. “Kakak kelas kok gak bisa bikin kesepakatan.” sindirku.
Mereka berteriak-teriak berkata, “bilang aja kalau takut.” Bukan aku takut, tapi mereka terlalu plin-plan dan tidak adil. Ngapain menyetujui kesepakatan mereka. Kalau memang mau mengajakku tanding, ya diskusikan dulu kesepakatannya di kelas, secara adil.
“Eh, besok malam nih acaranya! Jangan lupa bawa gebetan gua.” teriak Regina dari kejauhan. Dia pikir aku pelupa? Aku juga ingat nanti malam dia mengadakan pesta. Lagian dia apa tidak malu? Berteriak seperti itu, otomatis semua orang yang ada di dekat ku dan di dekat dia, mendengar perkataan dia. Benar-benar tidak punya harga diri.
***
Saat aku dan teman-temanku sedang membeli makanan di kantin, dari belakang ada yang berteriak—sepertinya sedang memanggil orang dengan kata “sayang”. Aku tidak menghiraukan, karena memang setiap harinya, pasti ada saja orang yang berteriak kata sayang di kantin ini. Memang, murid-murid sekolahku memang sangat bucin, SMA sudah berpacaran dan dengan percaya diri-nya memanggil pacar nya itu dengan kata sayang di depan umum.
“Sayang!” orang itu terus memanggil pacar nya dengan lantang.
“Siapa sih? Bucin banget astaga.” Juan menggerutu.
Orang itu sama sekali tidak berhenti berteriak sayang. Murid dan guru yang ada di kantin juga sudah mulai risih mendengarnya. Ketika dia berteriak sekali lagi, kali ini sangat kencang, sampai membuat suasana kantin yang berisik menjadi hening.
Rain berjalan kepada ku, “kamu dipanggilin, kok gak dijawab aku nya? Gak dengar ya?”
PANGGILAN ITU UNTUK AKU! “Ng, ha.” aku kehabisan kata-kata.