“Mit, sayang. Turun yuk, sarapan. Mama udah buatin roti bakar nih.” panggil Ibuku.
Aku turun dan mendapati RAIN DUDUK DI SOFA RUANG TAMUKU. Aku ternganga. Tatapanku tepat pada Rain dan seolah berkata, ‘ngapain lu kesini?!” Lu bener-bener cari masalah ya!’ Aku duduk di meja makan, mulai memakan roti bakarku. Ah, gara-gara Rain, roti bakarku jadi gak enak.
Dia menghampiriku, “hai…” Ibuku menyuruh Rain duduk di sebelahku dan ikut makan.
“Tante buatin lagi ya roti bakar nya buat kamu.” tawar ibuku sembari menatapi mukaku yang sudah merah dengan perasaan malu bercampur marah. Aku bisa membayangkan betapa merahnya mukaku sekarang, seperti kepiting yang baru saja selesai direbus. Iya, seperti itulah kurang lebih.
“Gak usah, Tan. Nanti aku sarapan di sekolah aja.” kata Rain menolak tawaran ibuku sambil menunjukkan muka malu-malu kucingnya.
Aku makan roti bakar secepat mungkin.
Seselesainya, aku berdiri, membawa tas ranselku, “Ma, Pa aku pergi sekolah dulu. Pak Okta dimana?”
“Kamu berangkat sama aku aja. Aku bawa motor tuh.” Apa-apaan ini? Rain bia menyetir motor?! Dia kan hanya 1 tahun lebih tua dariku, dia masih kelas SMA 3. Memangnya sudah punya SIM?! Ya, well, anak kelas SMA 3 memang seharusnya sudah punya SIM, tapi memangnya Rain sudah punya?
Kalau dia ternyata belum punya SIM, dan kalau aku ikut dia dan nanti di tengah jalan ditilang, gimana? Aku bisa telat masuk sekolah. Kalau sampai aku telat, bisa-bisa aku berdiri di luar kelas selama 40 menit. Gak, gak mau, enak aja. Rain mah enak, anak kesayangan Pak Erik, asisten kesiswaan sekolah. Kalau dia telat juga gak akan dikasih hukuman.
Aku menolak dengan menjelaskan yang baru saja aku bicarakan pada Ibuku dan Rain.
Dia mengacak-ngacak rambutku lagi, “kamu lebay deh. Gak akan ditilang, aku juga biasanya ke sekolah naik motor. Tenang aja. Aku udah punya SIM kok.” Benar-benar ya, Rain ini. Dia memang super pelupa, tapi dia tidak mungkin kan lupa kalau aku hanya pacar pura-pura-nya? Kalau memang dia lupa, aku akan lompat-lompat kegirangan pasti. Kalau tidak…ah, aku malas membahasnya.
“Lu sekali lagi pegang rambut gua, gua botakin rambut lu!” Dia tidak suka dengan kata-kata ‘botak’ karena dia pernah botak, hahaha. Tante Tyna (Ibunya Rain) pernah memotong rambut dia sampai botak. Dan botak itu sangat tidak cocok dengan mukanya. Mukanya seketika menyerupai beruang kurus, haha.
Aku kira dia akan memasang muka pasrah dan sedihnya, kemudian meminta maaf, namun yang dia lakukan justru sebaliknya! Dia mengacak-mengacak rambutku lagi yang semua sudah rapih. Kemudian, dia menggandeng tanganku, “Tante, aku izin bawa Mitha ke sekolah ya.”
“Iya, hati-hati.” Aku menggerutu sepanjang perjalanan, dan inti dari semua gerutu ku itu, ya bahwa aku tidak mau diantar oleh Rain. Dan kembali mengingatkan dia bahwa semua ini hanya sandiwara, tidak asli. “Gua tekanin lagi ya, ini gak asli.”
Aku sibuk memainkan ponselku. Tiba-tiba kami menepi dan berhenti di pinggir jalan. Tuh kan, benar saja kena tilang! “Gua udah bilang gua gak mau ikut lu, 10 menit lagi masuk sekolah, kita bisa telat!” Mana yang katanya punya SIM? Dia menjawab dengan alasan lupa membawa SIM. Rain ini memang benar-benar minta di deportasi ke luar Bumi! Bukan negara lagi, tapi Bumi. Merepotkan sekali. Pokoknya di sekolah nanti aku akan memperjelas semua ini ke dia.