Sejak kapan sih ada peraturan yang mengatakan kalau mau putus harus disepakati 2 pihak? Kalau aku sudah mau putus, sedangkan Rain belum mau, ya berarti kita akan tetap putus. Bukankah putus itu adalah sebuah peristiwa yang bisa menegaskan statusku sebagai single? Lalu, kenapa si Rain membuat ini semua semakin rumit? Apakah tak cukup hubunganku dengan Regina saja yang rumit?
“Hai.” Juan menyapaku yang sedang duduk bengong sendirian di kantin. Pikiranku masih dipenuhi dengan perkataan Rain yang dia katakan 2 minggu lalu. Dan sampai sekarang, statusku masih sebagai pacarnya Rain.
Aku menatap sekelilingku. “Juuuu…” Aku memanggil Juan yang sedang berjalan mencari makanan dengan nada putus asa. Aku meletakkan kepalaku di meja kantin.
“Lemes amat lu, kenapa sih?” tanya Juan yang sudah kembali membawa semangkuk ketoprak dan segelas es teh. Dia menatapiku dengan ekspresi menjijikan.
Melihat muka Juan lagi aku jadi ingat bahwa ini salahnya! Siapa yang mencetuskan ide untuk putus? Juan! Sekitar 2 hari sebelum peristiwa menjijikan itu terjadi, Juan mengusulkan aku untuk putus dengan Rain, katanya, “pesta ulang tahunnya Regina kan udah selesai, kenapa lu gak putus aja sama Rain.” Kemudian setelah itu aku berteriak-teriak gembira. Karena seketika otak Juan bisa menjadi pintar juga.
Cuman kenapa jadinya malah berakhir gini? Ini bukan bagian dari rencana putus-nya aku dengan Rain. Saat pertama kali Juan mengusulkan ini padaku, aku bahagia. Dan terus meuji-muji Juan sepanjang hari. Tapi, sepertinya sekarang aku harus mengangkat predikat pintar dari Juan.
Kupukul keras-keras lengan Juan.
“Aduh apaan sih?”
“Si Rain malah nembak gue, bukan putus!” teriakku tanpa menyadari bahwa di kantin ini ada banyak orang bukan hanya aku dan Juan. Oke, aku benar-benar berhasil membuat diriku malu.
Dengan tenang dan santai dia menjawab, “oh gitu…”
***
“Mit, ada paket nih. Turun yuk.” panggil Ayahku. Aku turun dengan semangat karena 4 hari lalu aku memesan casing untuk ponselku.
Perasaan semangat itu sekarang menjadi perasaan yang tidak jelas. Aku memandang hampa 2 orang yang sedang bercakap-cakap akrab. Yang satu sibuk menginterogasi tentang dia, dia, dan dia yang aku malas sebut namanya, sementara yang lain—sepertinya siap untuk menjawab apapun pertanyaan yang diberikan. Aku menelan ludah dan menghela napas panjang, untuk memberi tahu tentang keberadaanku disini. Sementara orang yang aku maksud adalah Ibuku dan Rain.
“Lu ngapain disini?!” bentakku pada Rain, memotong pembicaraan dia dengan ibuku.
“Mau jemput kamu.” sahutnya halus.
“Kemana? Eh—enggak, kemana pun itu gua gak mau ikut. Nanti kena tilang lagi, gak usah aneh-aneh deh.” Enak aja dia mau mengajakku ke suatu tempat lagi. Nanti, kalau kena tilang lagi kan susah.
“Enggak, udah tenang aja.” katanya sembari menghampiri dan menarik tanganku.
“Gak mau! Pokoknya, gak mau!” Aku nyaris teriak.
“Kenapa sih? Kamu takut kena tilang? Gak akan. Tuh, kamu liat aku sama supir aku. Aku gak pake motor lagi.” Sebenarnya, tentang kena tilang itu bukan alasan pertamaku untuk menolak pergi dengan Rain. Alasan pertamaku, ya aku memang tidak mau pergi sama dia, bukan karena takut ditilang.