Beberapa bulan berlalu dengan aku yang masih memasang statusku sebagai pacar Rain. Tahun ini, aku sudah duduk di bangku SMA 3 dan Rain sudah kuliah, dan semua ini kuanggap sebagai hal yang menyenangkan. Kalau Rain sudah kuliah, setidaknya waktu untuk bertemu dengannya lebih sedikit.
Tahun ini, ada murid baru yang akan masuk ke sekolahku. Tidak begitu mengerti kenapa dia mau masuk ke sekolahku sewaktu kami sudah berada di SMA 3. Maksudku, itu tidak berguna, kan? Dia harus membayar uang pangkal lagi dan terlebih lagi dia harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Yang lingkungannya mungkin jauh berbeda dengan sekolah lamanya.
"Murid baru nya mana nih?" Juan bertanya padaku, sementara Nissa, Arka, Dyra, dan Angkasa sedang pergi ke suatu desa untuk melakukan pengamatan, mereka begitu cinta dengan pelajaran Biologi.
"Gak tahu, paling telat kali tuh. By the way, nanti dia masuk ke kelas kita ya, Ju?"
"Iya, biasa lah paling telat." Juan masih fokus mengerjakan PR yang sengaja dia lupakan.
Karena bosan menunggu Bu Lusi yang telat masuk, aku meminjam gitarnya Radit, lalu bersenandung sendiri di sebelah Juan. Mulut Juan lama-kelamaan juga ikut mengeluarkan suara. Kami hanyut dalam suara gitar yang perlahan-lahan aku petik, menghasilkan sebuah instrumental tenang.
Pikiran kami terpecah ketika mendengar ketukan pintu dari Bu Lusi, hanya kami, aku dan Juan. Sementara murid yang lain masih melakukan hal-hal memalukan, tapi bagi kami, itu sudah biasa.
Bu Lusi dengan si anak baru masuk kedalam kelas. Anak-anak kelasku masih ada yang mengobrol dengan suara sekencang stereo, masih ada juga yang berdandan, dan ada juga yang melakukan perang dengan kursi dan spidol. Terlalu freak.
Bu Lusi kembali mengetuk pintu, kali ini lebih kencang, demi menyadarkan keberadaannya. Teman-temanku yang sedang melakukan aktivitas gila, seketika berhenti dan bengong melihati Bu Lusi dengan si anak baru. Lalu, melihat mata Bu Lusi yang kemudian terbuka lebar, membuat mereka semua takut dan langsung membereskan bangku, spidol, dan make up mereka.
"Ini kok malu-maluin banget sih. ada anak baru, tapi tingkah lakunya malah kayak gini." gerutu Bu Lusi, masuk kedalam kelas diikuti dengan si anak baru.
Setelah kami selesai membereskan segala kekacauan yang ada didalam kelas, Bu Lusi menyuruh si anak baru untuk memperkenalkan diri.
"Hai, nama gue Jonathan. Jonathan Huang, umur gua sama kayak lo semua. Gua pindah kesini karena ada alasan tersendiri, jadi gua harap kalian bisa menghargai privasi gua."
Cowok tinggi, keturunan Tionghua, cukup stylish walaupun pakaiannya juga sama dengan kami, namun dia memakai beberapa gelang karet dan jaket yang disponsori oleh GAP. Parasnya tidak kalah dari Alfred yang merupakan seorang pemain basket terkenal di sekolah.
Mata semua murid perempuan yang ada di kelasku, langsung berbinar-binar.
Dia duduk di sebelahku. Lalu, melirikku sebentar, memberikan aku senyuman manis. "Hai..."
Ah, terlalu manis!
Aku hanya membalas dia dengan senyuman. Ganteng, sih iya, namun mengingat statusku sebagai pacar Rain, aku tidak setega itu. Ah, betapa pentingnya sebuah status.
***
"Ganteng ya, Ju." ucapku, membawa sepiring nasi goreng.
"Siapa? Si Jonathan?" tanyanya sembari mencari tempat duduk.
"Iya, manis gitu senyumannya...."
"Boleh sih lu bilang dia ganteng, tapi inget aja kalau lu masih punya Rain." Ah, Juan baru saja berhasil menghancurkan mood-ku. Aku lagi asik-asiknya mengingat senyuman manisnya Jonathan, lalu Juan malah ngomong sebuah kalimat yang mengandung kata 'Rain.'
Saat aku sedang mengoceh pada Juan, Jonathan datang menghampiri kami, dan duduk di sebelahku, tampak begitu tenang. Aku menutup mulutku, berhenti berbicara, lalu menatapi dia penuh perasaan canggung.
"Gua izin duduk disini ya." Dia membawa semangkuk bakso di tangannya sebelah kiri, sedangkan tangan kanannya dipenuhi oleh 2 buku yang setebal kitab suci.
“Mitha baru selesai ngomongin lu tuh, katanya lu ganteng dan senyuman lu manis.” Juan mesem-mesem, melirikku sekali-sekali, tanpa dosa.
Jonathan menatapiku dan memberikanku senyuman untuk yang kedua kalinya, “makasih, lu juga cantik.”
Oh, crap! Aku baper sekaligus merasa bersalah telah memuji dia dengan kata ganteng, karena pikiranku terus mengarahkan aku pada nama Rain, Rain, dan Rain lagi.
“Dia udah punya pacar, Jo. Jangan dipuji-puji gitu, nanti baper loh dia. Dia kalau udah baper berujung suka loh.” ujar Juan, melirikku begitu licik. Kupukul kepalanya keras-keras dengan botol air mineralku.
"Oh, udah punya pacar....siapa?" Jonathan spontan.
"Gak penting. Gak usah dibahas." jawabku cuek dan datar.
"Namanya Rain. Kakak kelas kita, sekarang udah kuliah." celetuk Juan. Aku benar-benar pasrah.