Rain mengajakku bicara malam ini. Katanya ada hal penting yang dia mau bicarakan denganku, dan aku akan sangat bersyukur ketika dia mengatakan, ‘kita putus.’ Yaampun, aku bisa lompat-lompat kegirangan, namun ya, aku juga belum tahu sih. Cuman, berharap terlebih dulu, tidak apa-apa kan?
Aku datang ke kafe yang dia tentukan tepat waktu dan, ya seperti biasa, dia telat. Dia yang ngajak, dia yang telat. Ya, biasa lah, kebiasaan buruk nya Rain, gak pernah on time.
“Hai…udah lama ya?” tanyanya sambil melepaskan jaket jins nya.
“Ya, lumayan lah. Gua dapet 3 bab.” jawabku sembari menutup buku yang sedang aku baca.
“Sori-sori, tadi macet.” Lagi-lagi, alasannya macet. Kalau dia alasannya macet, kenapa aku bisa sampai tepat waktu? Padahal, kan aku dan dia tinggal di kota yang sama.
“Oke, jadi mau ngomong apa?” aku bertanya, berharap dia langsung bicara ke intinya saja.
Rain meletakkan tangannya di meja, “ternyata gak enak ya.”
“Apa nya yang gak enak, bisa ngomong yang jelas gak sih?” Aku menjawab dengan cepat.
“Iya, gak enak. Punya pacar, tapi kayak gak punya.” Oke, aku mulai senang. Aku mau mendengar 2 kata itu keluar dari mulutnya.
“Iya, memang gak enak. Dari pertama kan memang gua uda gak mau.”
“Tapi, gak apa-apa. Aku akan terus berusaha.” APA-APAAN INI?! Bukan ini yang aku tunggu.
Aku bengong, menatapi dia dengan putus asa, “gue mau putus!”
“Enggak, apaan sih kamu.”
“Lu yang apaan sih. Mana ada sih orang kalau mau putus harus ada persetujuan berdua. Ya, nggak ada lah! Lu aja yang aneh. Lu nyadar gak sih, lu tuh bikin gua tersiksa!” bentakku, berusaha mengeluarkan semua keluh kesah yang aku sedang hadapi.
“Ya, kalau kita putus pun, itu ngebuat aku tersiksa!” balas nya tak kalah gusar.
“Kenapa?! Kenapa lu begeitu egois ke gua? Lebih tersiksa gue, Rain! Coba aja sana lu pacaran sama Regina, mau gak lu?!” Dia menggeleng, “gak mau kan?! Nah, sama gua juga gak mau pacaran sama lu, sama rasanya ketika lu dipaksa untuk pacaran sama Regina.”
Dia menepuk keningnya tak habis pikir, "kamu tuh gak tahu, Mit. Kamu gak tahu apa yang aku rasain kalau nanti kita putus. Aku ngerti kamu memang tersiksa, dan aku minta maaf. Tapi, aku juga gak bisa kalau disuruh putus sama kamu, aku gak tahu nanti hidup aku kedepannya gimana kalau kita sampe putus."
Aku menyeret dia keluar kafe, “Maaf lu gak ada guna, kalau kita gak putus. Gue akan terus tersiksa, as always, lu emang paling egois."
“Belom waktunya aku ceritain ke kamu, aku gak mau kamu malah nyalahin orang lain.”
“Terserah. Lu emang gak pernah mikirin perasaan orang, kan? Ya udah, fine. Terserah lu aja mau nya gimana." Aku mulai putus asa, suaraku mulai pelan.
"Supaya adil, kita buat kesepakatan aja, gimana? Aku tetep pacar kamu, tapi sebisa mungkin aku akan kurangin telpon-telpon atau chat kamu, gimana kalau kayak gitu?"