Kata-kata yang dikeluarkan sama Angkasa masih melekat betul di kepalaku, tidak ada satu kata pun yang hilang atau kurang. Memikirkan betapa malu nya aku ketika semua rahasiaku tersebar. Memikirkan apakah itu benar atau candaan. Ah, tapi tidak mungkin juga kalau semua itu candaan, tawa yang mereka keluarkan begitu asli.
Regina memang hatinya terlalu jahat! Buat apa sih dia tahu semua rahasia kita? Memangnya ada guna nya? Semua rahasia kita kan tidak ada yang bersangkutan dengannya. Terus buat apa dia tahu semuanya? Dia mengirimkan “agen-agen” untuk berpura-pura berteman dengan kami. Dia pikir ini FBI apa? Yang mengirimkan agen untuk memata-mata, sehingga bisa mengetahui rencana-rencana penjahat. Dia yang seharusnya dimata-mata, bukan kami. Dia kan yang selama ini jahat.
“Udah lah…gak usah dipikirin lagi.” Jonathan menghampiri aku yang sedang duduk sendirian di meja kelasku sembari bengong.
“Ih, gua sih masih heran loh. Masa mereka bertiga mau sih disuruh-suruh sama Regina gitu, bodoh banget sih kalau menurut gua.” Juan menyeletuk, dan datang ke mejaku setelah dia selesai mengumpulkan tugas Mandarinnya Bu Meli.
“Mereka tuh udah jelasin semua ini bulan lalu, tapi gua masih inget betul penjelasan dari si Angkasa.” Dyra duduk di depanku sambil mengerutkan jidatnya.
“Guys, jangan kayak gini dong. Kalian kayak gini tuh malah ngerugiin diri kalian sendiri, kalian yang cape sendiri. Mereka mah udah seneng-seneng, kalian masih putus asa gini. Udah gak usah dipikirin lagi, yang penting kan kalian gak buat salah. Ya, gua tahu memang gak gampang untuk bisa gak peduli sama mereka secepat itu, cuman gua yakin kalian bisa kok.” Jonathan menepuk pundak Juan.
Teleponku tiba-tiba berbunyi. Aku mengangkatnya tanpa melihat telepon itu dari siapa, “halo?”
“Mit, kok aku lihat Nissa sama Regina ngobrol akrab gitu ya?” Aku melihat telepon itu, dan ya, tidak mengejutkan. Itu dari Rain, dan dia berhasil membuat mood-ku yang setengah hancur manjadi hancur total.
“Iya, nanti gua kasih tahu lu tentang itu. Lu lihat mereka dimana?” tanyaku bermalas-malasan.
“Ini aku di warung Indomie depan sekolah. Aku lihat mereka makan sambil ngobrol gitu. Kamu kenapa? Kok suara kamu kayak lemes gitu sih?” Dia memberi tahu ku kalau Nissa, orang yang tadinya sangat dekat denganku makan dengan orang yang tidak aku suka. Habis itu dia bertanya kenapa suaraku lemas, dia bisa berpikir tidak sih?
“Gak pa-pa. Udah ah, gua lagi malas ngomong. Bye.” Aku langsung menutup teleponku dan memberi tahu teman-temanku bahwa Nissa sedang makan bersama dengan Regina. Kami semua kembali putus asa kecuali Jonathan.
“Kok malah sedih lagi sih. Jangan gini terus atuh, nanti kalian susah sendiri. Udah lah, kalau memang mereka itu bukan teman asli kalian, ya udah. Gak usah dipusingin.” ujar Jonathan.