Akhirnya, aku dan teman-temanku, berhasil melupakan—bukan melupakan sih, lebih tepatnya kami berhasil tidak memedulikan semua itu lagi.
Dan inipun waktunya unutk aku kembali ke kehidupan realita sebagai pacar Rain. Selama ini pun, masih pacar Rain, namun belakangan ini, aku merasa bahwa kami jauh, benar-benar tidak dekat. Jauh-sejauh-jauhnya, dia tidak menghubungiku samasekali.
Dan kalau mau jujur, hidupku tidak lebih nyaman atau menyenangkan, justru aku merasa ada yang kurang dari kehidupanku. Tidak ada yang menghubungiku selama ini, mengirimkan pesan atau memedulikan aku, hanya aku sendiri.
Rutinitas soreku, seperti biasanya. Setelah aku membawa anjingku keliling komplek, aku mampir ke kafe biasa. Aku memesan 1 matcha espresso, lalu duduk di meja yang berada di tengah-tengah kafe. Saat aku sedang berada di tengah keasikanku membaca buku, aku secara tidak sengaja melihat quotes yang dipajang di ujung kafe.
Dari puluhan kali aku ke kafe ini, aku baru melihatnya sekarang. Entah, mungkin aku terlalu fokus dengan buku, karena setiap kali aku ke kafe ini, aku selalu membawa 1 buku. Quotes ini sebenarnya sederhana, tapi memiliki makna yang cukup dalam menurutku, “never expect a yield a milk from a bull. -Bikash Chaurasiya ( Jangan pernah mengharapkan hasil susu yang banyak dari seekor banteng ).”
Ya, mungkin aku baru menyadari nya sekarang, karena aku sedang membutuhkannya. Quotes ini berkata bahwa jangan pernah mengharapkan apapun dari sesuatu yang tidak mungkin menghasilkannya. Mudah saja, seperti banteng. Banteng kan tidak menghasilkan susu, dan kita mengharapkan susu yang banyak darinya, itu mustahil.
Aku berhenti membaca buku ku, dan mengeluarkan buku harianku, yang delapan puluh persen dari isinya adalah quotes dan kata-kata motivasi. Tidak lupa, aku mengeluarkan beberapa spidol dan bolpen. Lalu, aku mulai menulis quotes itu dan menghias nya. Aku menggambarkan banteng dengan 1 ember kosong, dibawah quotes itu. Kemampuan gambarku memang sangat tidak bagus, namun karena ini buku harianku sendiri, jadi asalkan aku tahu ini gambar apa, tidak menjadi masalah bagiku.
“Quotes nya bagus ya.” Jonathan tiba-tiba datang, dengan pemikiran yang sama denganku, bahwa quotes itu bagus. Ya ya, dia memang sering ke kafe ini.
“Iya, bagus. Duduk, Jo.” suruhku, menaikkan bahuku.
Dia menatapi buku harianku, aku buru-buru menutupnya, karena aku tahu pasti dia berasumsi bahwa gambarku jelek. “Eh, kenapa ditutup. Jangan dulu dong.” Dia meletakkan tangannya di halaman tadi aku menuliskan quotes, lalu menarik buku ku dengan matanya yang masih tertuju padaku.
“Jo—”
“Bagus kok. Gambarnya juga lucu, gua suka. Boleh tolong buatin lagi gak? Gua juga mau.” Jonathan melihat semua tulisanku yang ada di buku harianku itu. “Siapa bilang gambar lu jelek? Ini semuanya bagus kok.” puji dia, memberikan senyuman manis padaku.
“Mau dibuatin kayak gini juga?” tanyaku malu-malu.
“Iya. Boleh?” Dia bertanya sekali lagi.
“Boleh, tapi gua harus bikin di buku gua, jadi balikin dulu buku gua.” Aku mengulurkan tanganku.
Dia mendongak lalu memberikanku buku itu kembali.
Jari-jemariku mulai bergerak, menggambar dan menuliskan quotes tadi dengan gambar yang sama. Dia memperhatikan aku menggambar, lalu sekarang menatapku tepat di mata, “Mit, kenapa lu bisa pacaran sama Rain?”
Aku menatap dia balik, kemudian meneruskan menggambar, “kan gua udah pernah bilang sama lu Jo. Gua sebenarnya kan juga gak mau, cuman dia nya yang kekeh mau pacaran sama gua.”
“Kenapa gak lu putusin aja?” Oh, enteng sekali nada bicaranya. Terlalu polos. Terlalu lucu.
“Ya, gua udah bilang mau putus sampe berkali-kali, cuman dia nya gak mau. Jadi, mau gak mau gua masih “pacarnya” Rain.” Dia tidak menjawab penjelasanku. “Memangnya kenapa, Jo?”