Kali ini, ponselku berbunyi lagi. Dan ini sudah menjadi yang ketujuh kalinya dia menghubungi aku. Karena aku risih dengannya, aku mengangkatnya, dan langsung bertanya ketus padanya. “Apaan sih? Berisik banget daritadi.”
“Aku gak peduli kalau kamu memang mau putus sama aku, tapi aku akan tetep jadi pacar kamu.” ucapnya halus. Bukannya yang baru saja dia omongi itu adalah yang aku omongi waktu di kafe tadi? Untuk apa dia memberi tahuku lagi, orang yang ngomong itu duluan adalah aku. Oh iya, aku baru ingat, Rain kan pelupa.
“Iya, udah dicatet di otak. Itu doang?” jawabku gusar.“Iya, itu doang. Kamu dimana?” Rain bertanya, dengan sekeliling dia yang cukup berisik dengan suara klakson mobil.
“Masih di mobil, lagi jalan pulang.” sahutku acuh tak acuh.
“Oh oke. Nanti malam kamu mau kemana?”
“Belom tahu. Udah ah, gak usah nanya-nanya, bye.” Aku langsung memutuskan sambungan itu, memandangi layar ponselku, berharap teman-temanku atau siapapun itu mengirimkan chat padaku dan mengajakku ngobrol.
“Kok gak ngasih tahu gua kalau lu sama Rain pacaran? Terus, sama pacar sendiri kok ngomongnya ketus gitu?” tanya Kakakku, Liam seakan-akan dia tahu tentang semua hubunganku dengan Rain.
Prak! Ponselku menghantam kursi mobil dengan suara menyedihkan. Saking terkejutnya, tanganku sampai bergetar dan menjatuhkan ponselku. Aku menoleh kebelakang, “sejak kapan lu ada disini?! Bukannya lu lagi kuliah di Melbourne?!”
Aku melihat Pak Okta yang sama sekali tidak terkejut, “ini dia kenapa ada disini ya, Pak?”
Rupanya, sebelum Pak Okta menjemputku di kafe, dia menjemput kakakku dulu dari bandara. “Lu kenapa disini? Lu bikin gua kaget!”
Tidak ada jawaban. Tatapannya seakan-akan berkata, “udah buruan gak usah basa-basi.”
Penjelasanku mulai mengalir dari mulai pesta ulang tahunnya Regina, lalu dia tidak mau putus denganku, dan sampailah pada kejadian yang tadi baru saja terjadi.
***
Aku menunggu Dyra selama setengah jam dan dia tidak datang-datang juga. Malam ini, aku ada janji mau pergi ke pasar malam bersamanya.
Aku telepon dia, katanya dia ada acara keluarga yang mendadak jadi tidak bisa ke pasar malam ini. Terpaksa, aku jalan sendirian di pasar malam ini.
Setiap booth yang aku hampiri selalu meledekku dengan berkata, “sendirian aja nih, mba. Pacarnya kok gak ada?” ah, malas membahasnya, aku hanya memberikan mereka senyuman seakan-akan aku malu, padahal tidak. Apa salahnya sih kalau aku tidak punya pacar?
Aku bingung saja dengan orang-orang yang berpendapat bahwa tidak mempunyai pacar itu menyedihkan. Aku tidak punya pacar dan baik-baik saja. Setiap orang kan bebas memilih, kalau mereka memilih untuk sendiri dan itu lebih membuat mereka senang, kenapa tidak?
Byur! Hujan tiba-tiba turun. Semua orang yang berjualan disitu langsung menutup booth mereka, membuatku bingung mau berteduh dimana. Aku tidak membawa payung atau jaket untuk menutupi kepalaku. Aku sudah seperti orang gila yang berjalan kesana-kesini dengan rambut dan pakaianku yang sudah basah kuyup.
Aku sudah pasrah berdiri disitu, sendirian dan kehujanan. Aku berusaha mengambil ponselku dari tas untuk menghubungi Pak Okta, supaya dia bisa menjemputku. Namun, karena hujan yang semakin lama semakin deras, aku kesusahan mengambilnya. Dan saat aku berada di tengah kesusahanku itu, seseorang menarikku dari belakang, dia buru-buru lari sambil menarik tanganku.
Saat pertama kali dia menarik tanganku, aku tidak begitu jelas dengan mukanya. Tapi, saat dia menyuruhku untuk naik ke motornya, aku sudah mengenali siapa dia. Ya, siapa lagi kalau bukan si pelupa alias Rain.
Dia membawaku ke rumahnya yang tidak jauh dari pasar malam itu. Tante Tyna menghampiriku, menyuruhku untuk duduk di sofa, sementara dia sedang mengambilkan aku handuk. Rain yang tampak sama basah kuyup nya denganku buru-buru ke kamar mandi. Aku yang duduk sendirian di ruang tamu itu sudah sangat kedinginan.
“Ini handuk nya, kamu mandi aja dulu.” suruh Tante Tyna yang datang dengan membawa handuk berwarna biru terang. “Kamu bawa baju gak? Kalau kamu gak bawa baju, kamu pakai baju nya Bunga dulu aja.”