Aku bangun dari tidurku, dan mendapati diriku terbaring di kasur kamarku. Aku langsung bangun dan mengingat-ngingat apakah Rain membangunkan aku dan mengantarkan aku ke kamarku, tidak samasekali. Namun, mungkin dia tidak membangunkan aku hanya mengantarkan aku ke kamarku.
Tunggu-tunggu, seingat aku, aku tidak berjalan ke kamarku. Lalu, bagaimana aku bisa sampai ke kamarku tanpa berjalan? Berarti Rain menggendong aku dong? Dan Ibu dan Ayahku memperbolehkan dia menggendongku?
Ah, tidak peduli lah bagaimana caranya itu. Yang penting aku bisa tidur di kamarku, bukan di mobil Rain. Dan justru lebih baik aku tidak dibangunkan oleh Rain, jadi acara makan malamku dengan Tom Holland tidak perlu terputus.
Dan seperti biasa, aku mendapati Rain sedang duduk di ruang tamuku sedang mengobrol dengan kedua orang tuaku. Aku menghela napas panjang-panjang dan langsung duduk di kursi meja makanku. Aku sama sekali tidak menghiraukan dia, terlebih lagi, aku bosan melihat dia setiap pagi muncul di ruang tamuku.
“Mit, udah belum sarapannya?” Ibuku menghampiriku dan mengelus pundakku. “Kalau udah, pergi ke sekolah sana sama Rain.”
“Oke, Ma.” Aku sudah tidak pernah berargumen lagi dengan Ibuku. Maka setiap kali Ibuku menyuruhku untuk pergi ke sekolah bersama Rain, aku akan menjawab ‘oke, Ma.’ Sudah terlalu putus asa.
***
Aku melihat 1 kejanggalan di depan gerbang sekolah. Juan, Dyra, dan Jonathan berdiri disitu menatapiku dan Rain dengan ekspresi aneh. Tumben, mereka ada di depan gerbang—sepertinya menunggu aku datang.
“Itu temen-temen kamu ngapain tuh?” tanya Rain, menatapi aneh mereka bertiga.
“Gak tahu.” ujarku pendek sembari melepaskan helm dan memberikannya pada Rain.
“Aku duluan ya. Eh, hari ini kamu ada ujian matematika kan?”
“Iya, tahu darimana lu?” Aku menaikkan alisku.
“Tahu dong. Gini deh, kalau ujian kamu nilainya diatas KKM, aku boleh minta apapun itu ke aku, selain putus.” Aku hampir saja senang. Kalau 2 kata terakhir itu tidak dia ucapkan, aku mau meminta itu padanya.
“Gua mau putus, gak yang lain. Tapi, ya udah lah. Udah sana ke kampus, gua mau masuk.”
Aku berbaik badan, lalu mengerutkan keningku sambil memandangi mereka bertiga, “ngapain lu bertiga?”
“Lu masih pacaran sama Rain?” Dyra bertanya dengan kedua tangannya yang berada di pinggang.
“Dia yang gak mau putus, gua udah minta putus berkali-kali, tapi dia tetep kekeh gak mau putus.” Aku menjelaskan dengan malas-malasan. “Udah ah ke kelas yuk, males gua ngomongin si Rain lagi.”
Mereka dengan muka yang tampak sangat meghakimiku, masih berdiri disitu tercengang. Aku juga bingung mengapa mereka tercengang seperti itu. Juan dan Jonathan kan sudah tahu bahwa aku dan Rain masih berpacaran. Memangnya Rain itu seburuk apa sih? Sampai-sampai mereka memberikanku ekspresi menghakimi seperti itu. Ya, perlu diakui bahwa Rain memang menyebalkan, namun…ah, sudahlah. Susah untuk mendeskripsikannya.
Aku yang sudah berjalan ke kelas, menyadari bahwa mereka bertiga tidak menyusul, melainkan masih berdiri disitu seperti orang bingung. Aku menoleh dan menghampiri mereka, “ayo ke kelas! Ngapain sih masih disini?” Aku menarik tangan mereka masing-masing. Namun, sepertinya tubuh mereka sudah menjadi kaku.
“Guys, ayo dong. 3 menit lagi udah mau bel nih. Nanti disangka telat sama Bu Lusi. Buruan ayo. Ini pada kenapa sih, malah diem doang. Ayo dong, jalan guys, jalan.” Aku mulai memasang ekspresi memelas dengan mataku yang berbinar-binar menyerupai karakter dari kartun anime.
***
Setelah—akhirnya berhasil mengajak mereka untuk ke kelas. Telinga mereka mendadak budek pagi ini, suara bel yang begitu kencang tidak mereka dengar. Hmm, bukan tidak dengar sebenarnya, aku yakin mereka dengar, hanya saja mereka sedang fokus dengan…entah fokus dengan apa.
Seperti biasa, aku harus kena omelan Bu Lusi dulu karena telat 30 detik masuk ke kelas.