Siapa yang akan menang dari lomba debat itu akan diumumkan hari ini, 8 hari setelah lomba debat itu. Dan tentu saja, yang menang adalah si Regina. Aku sudah tidak peduli dengan lomba debat itu. Mau Regina ataupun aku yang memang, aku tidak terlalu memedulikannya. Kalau Regina mau meremehkanku, silakan. Kalau dia mau mengolok-olok aku dengan mengatakan kalau aku ini bodoh, silakan. Dan kalau dia mau merebut Rain dariku, silakan. “Hah? Kok jadi ke Rain sih, Mit?!” sanggah Juan buru-buru.
“Biarin aja, gua kan udah bilang kalau gua gak pernah suka ataupun sayang sama Rain. Sayang sebagai teman, iya. Tapi, kalau sebagai pacar, enggak.” Saking aku sudah kesalnya dengan si Rain ini karena terus meneror aku dengan chat dan telepeon yang tidak berguna sama sekali.
Selama 2 minggu terakhir ini, Rain mulai menghubungiku lagi, dia lupa dengan kesepakatan yang kami buat
Aku tidak menelepon atau membalas chat darinya karena terlalu malas. Aku selalu menghindar ketika dia mengajakku untuk makan malam. Dan aku selalu bangun 1 jam lebih pagi agar bisa berangkat ke sekolah bersama Pak Okta, bukan Rain.
‘Tok-tok-tok!’ Pikiranku yang semula sudah tenggelam fokus ke film Beauty and the Beast, melihat Belle menari bersama Beast-nya itu, karena mendengar pintu itu yang diketuk, pikiranku langsung buyar. “Aduh, siapa sih. Ganggu banget.” gumamku dan langsung bangun dari sofa ruang tamu itu.
“Iya, sebentar.” Aku langsung berlari kecil ke arah pintu dan membuka pintu tersebut sambil merapikan rambutku yang acak-acakan. “Siapa ya?” tatapanku yang belum fokus pada orang tersebut.
“Hai.” Wajahku yang semula ramah, kini berubah menjadi wajah yang seakan-akan menolak kehadiran orang itu. Oh, bukan seakan-akan lagi, kalau aku bisa, aku mau mengusirnya.
“Mau apa lu?” Ya, tidak usah ku katakan lagi siapa, kalian pasti sudah tahu. Siapa lagi kalau bukan si pemaksa-sejati-yang-tidak-pernah-menyerah-menyuruhku-untuk-menjadi-pacarnya.
“Kamu kok cuek banget sih sama aku.”
Ih, siapa dia memangnya harus kupedulikan?
“Gak usah basa-basi, kesini mau ngapain?” tanyaku langsung to the point.
“Aku boleh masuk?”
“Gak.” jawabku buru-buru.
Lalu tak lain, teriakan Ibuku sampai ke teligaku, “ada siapa, Mit?”
“Ada tukang AC, Ma. Katanya mau betulin AC kita.” balasku asal.
Kerutan di jidat Rain seketika muncul.
“Hah? Mama sama Papa kayaknya gak ada panggil tukang AC deh. Dia salah rumah kali, Mit. Coba kamu tanya sama dia.”
Ibuku kemudian berjalan ke arah ruang tamu membawa 1 piring berisi cookies, sehingga kelihatan siapa yang ada di depan pintu rumahku. Dia berdecak. “Rain kok kamu bilang tukang AC sih.” Aku hanya membalasnya dengan senyuman seakan-akan aku juga bercanda mengatakan bahwa Rain ini tukang AC, padahal sebenarnya sih tidak. Kalau saja Ibuku percaya, urusannya tidak perlu panjang.
“Ayo, sini Rain, masuk.” Ibuku mengajak Rain masuk ke dalam rumahku. Rain masuk tanpa canggung. Mungkin dia sudah menerapkan apa yang Ibuku selalu bilang ketika dia datang ke rumahku, ‘make yourself as a home, Rain.’ Dan selain dia menerapkan apa yang Ibuku selalu katakan padanya, mengunjungi rumahku ini sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil, makanya dia gak malu-malu kucing masuk ke dalam rumahku. Dia sudah kenal dekat dengan orang tua dan kakakku.
Kami berdua duduk di lantai dengan Ibuku yang duduk di sofa. “Wih, ini Mama baru buat?” tanyaku dengan mulutku membentuk ‘A,’ siap memakan cookies buatan Ibuku itu.