Kami berjalan memasuki toko buku di sebuah mal. Rain langsung menuju rak buku biografi tokoh-tokoh terkenal, sedangkan aku memilih untuk mengambil arah berbeda, yakni rak buku novel fiksi.
Aku tipe orang yang suka membaca buku novel dan cukup update dengan perkembangannya. Menurutku, membaca novel itu setidaknya lebih baik daripada menatap layar ponsel. Ya, walaupun membeli buku novel itu lebih mahal dibanding men-download aplikasi permainan di ponsel.
Aku hendak mengambil salah satu buku fiksi remaja dari rak buku tersebut, namun sayangnya, tanganku tidak cukup panjang untuk mengambilnya. Dahiku langsung mengernyit, “ini rak tinggi banget sih.”
“Katanya sering main basket, tapi kok gak tinggi-tinggi sih. Masa segini aja gak nyampai.” Sebuah suara meremehkan membuatku menoleh. Rain. Tumben dia mengejekku. Biasanya kan selalu aku yang mengejeknya. Dia menampilkan tampang meremehkan yang sangat menyebalkan.
Rain mendekat ke arahku. “Tinggi kamu 165, masa gak nyampai?”
“160,” ralatku. “Rak nya yang ketinggian, bukan gua yang kependekan.” belaku tak terima.
“Rak nya gak salah, kamu salahin.” Rain terkekeh geli.
“Ambilin dong.” pintaku kepadanya.
“Kalau mau minta ambilin, bilangnya gimana?”
“Dih, kayak anak TK aja dibilangi kayak gitu.” cibirku.
“Ya udah, kalau gak mau diambilin.” katanya langsung melengos pergi.
“Ck. Ya udah, gua bisa manjat ini rak.”
“Manjat rak toko buku. Ide kamu emang anti-mainstream.” Rain geleng-geleng kepala tak habis pikir.
“Ya, makanya ambilin.” pintaku lagi. Rain memandangiku dengan raut seakan menungguku mengeluarkan kata yang dia harapkan. “Tolong,” tambahku akhirnya dengan raut pasrah.
Rain tersenyum penuh kemenangan. “Kamu mau buku yang mana?”
“Yang itu. Yang sampulnya warna kuning.”
Rain mengangkat tangannya dan menggapai buku yang kumaksud. Namun, setelah dia berhasil mendapatkannya, buku itu malah diletakkan ke rak paling tinggi. Aku mendongak, manatap Rain sambil melotot kaget. Cowok itu yang jauh lebih tinggi dariku memandangiku sambil cengar-cengir tanpa dosa.