Setelah Rain berhasil membujukku untuk pulang bersamanya ketimbang pulang dengan Pak Okta, Ibuku masuk kedalam kamarku.
Dia bertanya padaku mengapa aku selalu menolak perbuatan baik Rain padaku. Yah, sebenarnya aku bukan menolak, melainkan aku memikirkan perasaannya.
Gini-gini, kalau aku menerima seluruh perbuatan baiknya itu, dan pada akhirnya aku mau menerima dia sebagai pacarku, itu bagus.
Tapi, apakah keadaan akan jadi lebih baik kalau yang terjadi justru sebaliknya? Aku menerima semua perbuatan baiknya itu, tapi pada akhirnya aku tetap akan menolak dia, apakah itu adil? Dan apakah Rain akan terima diperlakukan seperti itu? Aku yakin, dia tidak akan menerima, bahkan seluruh orang di dunia ini pun tidak akan terima.
Ibuku tertegun ketika mendengar penjelasanku barusan. Dari air mukanya, dia tampak sedang merenung dan berusaha merasakan apa yang anaknya rasakan.
***
Rain meneleponku ketika aku sedang hanyut dalam cerita novel remaja yang sejak 1 jam lalu aku baca tanpa henti. Seperti biasa, ini sudah menjadi panggilan yang kelima kali. Efek dariku juga sih, aku tidak menjawab teleponnya. Tapi, seharusnya dia mengerti bahwa ketika orang tidak menjawab telepon, artinya orang itu sedang sibuk. Tapi, kuyakin dia tahu mengapa aku tidak menjawab teleponnya.
10 menit berlalu, panggilan kali ini sudah menjadi yang kesembilan kali. "Halo, apaan sih. Telepon sampe 9 kali, gak sekalian lu jadiin 10 panggilan?"
"Kamu dimana, Mit? Aku mau ketemu." Nada suaranya begitu menyedihkan.
"Dirumah. Mau ngapain ketemu?" balasku.
"Ada yang perlu aku ceritain ke kamu." Suaranya semakin pelan.
"Mau dimana?" tanyaku sambil menurunkan kakiku yang semula kuletakkan di atas kursi.
"Di kafe deket rumah kamu aja."
"Oke, gue kesana sekarang. Bye." Aku langsung memutus hubungan dan mengambil jaketku yang digantung diatas kursi.
Dalam sekejap, aku sampai di kafe itu. Aku memandangi cowok dengan rambut yang agak berantakan dan terlebih, cowok yang tidak pernah kelihatan lesu samasekali, kali ini, tampak samasekali tidak berdaya.
"Kenapa lu? Lemes banget." tanyaku pada cowok itu, dengan membawa segelas kopi.
"Ma...ma sama Papaku udah gak....gak a...da."
Aku tertawa kecil meremehkan, "gue bukan orang yang gampang dibohongin. Sori nih ya, kalau lu ngajak gua kesini cuman buat bercanda, gue gak ada waktu untuk itu."
"Aku enggak mungkin bercanda sampe bawa-bawa orang tua apalagi, sampe bilang kalau mereka gak ada. Gak mungkin, Mit. Aku serius, aku gak bohong, aku juga gak bercanda." Cahaya di matanya kian pudar.
Aku bengong, kepalaku sedang memilih bahwa aku akan percaya padanya atau meninggalkan dia di kafe ini sendirian. Tapi, dari keadaan muka dan tubuhnya sih, dia memang pantas untuk dipercaya. "Oke, kalau emang bener, coba cerita ke gua, kenapa mereka bisa gak ada."
"Kemarin pagi, Papa sama Mamaku mau berangkat ke kantor—" Satu butiran air merosot dari mata Rain. "Mama sama Papaku kan mau ke kantor, terus di perjalanan ada lampu merah. Gak lama, lampu merah itu ganti jadi lampu hijau, otomatis mereka jalan dong. Tapi, tiba-tiba ada truk yang ngebut dari arah lain dan nabrak 2 mobil, salah satunya mobil Mama Papaku, Mit. 2 mobil itu langsung hancur, dan kalau mobil nya aja hancur, gimana orang di dalemnya." Butiran itu menjadi banyak, dan terus mengalir membasahi muka Rain.
Melihat dia menangis seperti itu, aku jadi percaya seratus persen. Aku pindahkan kursiku menjadi ke sebelahnya, "Sekarang mereka dimana?" tanyaku sehalus mungkin, bahkan sehalus kain sutra.
"Ada di rumah sakit." Dia menggapai tanganku dan mengegam nya begitu erat.