Pertama Kali Mengenal Cinta

queenara valerie
Chapter #26

Aku dan Kamu, Menjadi Kita

"Aku udah mau ke Singapore."

Bum! Rasanya ada satu bom meledak di pikiran maupun hatiku. Rasanya ada batu besar nya memukul kepalaku. Rasa putus asa perlahan memenuhi pikiranku. Rasa takut yang seketika masuk kedalam hatiku tanpa izin.

Aku hanya bengong. Duduk, tidak bergerak. Diriku tidak terima kalau Rain harus pergi ke Singapore, mau itu untuk studi nya, mau itu untuk kepentingan masa depannya, aku tidak peduli. Pokoknya, aku mau Rain disini, bersamaku.

"Aku tahu, aku agak mendadak kasih tahu kamu nya. Aku juga tahu, aku egois langsung minta jawaban dari kamu. But...it's just hard to leave you." Saat itu juga matanya bertemu dengan mataku. Dia menatapku begitu serius dan dalam, seakan-akan tidak ada hal yang bisa dilihat selain seorang Paramitha.

Meski masih dalam rasa yang tidak mengenakkan, kuberanikan untuk mengeluarkan suara. Aku mendesah bingung. "Kamu memangnya udah selesai S1?"

Dia menarik napas panjang, lalu membuangnya. "Belum. Aku mau ulang S1-ku di Singapore aja. Soalnya, kalau aku kuliah S1 nya disana, kemungkinan aku bisa dapet beasiswa untuk S2-ku. I know this is sounds selfish, tapi percayalah kuliah di luar tuh biaya nya gak sedikit. Apalagi sekarang udah enggak ada Mama Pa—"

"Kamu punya Mama Papa, Rain. Mereka udah pergi duluan, iya. Tapi, bukan berarti kamu itu gak punya orang tua."

"Iya, maksudku, sekarang udah gak ada yang bisa bantu aku selain Tanteku sama Kak Bunga. Tapi, aku juga gak mau ngerepotin mereka berdua. Tanteku masih punya 2 anak yang harus disekolahin, Kak Bunga sih kerja tapi, dia kan masih harus bayar semua keperluan rumah, belum lagi untuk keperluan diri nya. Aku gak mau jadi beban." Dia terkesan bingung.

"Iya, aku ngerti. Gak pa-pa kok. Asal itu memang penting, aku akan selalu dukung, Rain. Kamu...kapan ke Singapore nya?" Diriku sudah mulai mau untuk mengerti keadaannya.

"2 bulan lagi." jawabnya, kelihatan agak sedikit merasa bersalah.

"Oh..." Aku kaget bahwa dia akan berangkat 2 bulan depan. Kukira dia akan berangkat sekitar 3-4 bulan lagi, tapi nyata nya tidak seperti itu. Aku tidak mau mengekspresikan kekagetanku ini. Karena sekali lagi, diriku sudah mau mengerti keadaannya.

"So, I'm going to ask you one more time, karena pertanyaanku ini terlalu sayang untuk dilewatkan."

"Tanya aja."

"Kamu mau jadi pacarku?" Astaga! Aku lupa akan tujuan dia datang kesini.

"Ng, ha? Oh, itu." Aku bingung.

"Kalau kamu memang gak mau nerima aku, gak pa-pa kok, Mit. LDR itu memang susah, gak gampang." Kepalanya diputar kearah kanan.

Aku manggut-manggut tidak jelas, "iya, mau."

Kepalanya langsung diputar ke arahku, ekspresi yang diberikan cukup membuatku tertawa kecil. Warna merah mewarnai seluruh mukanya, dengan keringat dingin yang perlahan mengalir.

"Kalau kamu terpaksa, mending gak usah, Mit."

"Oh ya udah, kalau gak mau." Aku meninggalkan meja makan, membawa gelasnya, dan berjalan ke arah dispenser air, berniat memberikan segelas air lagi untuknya.

"Eh—mau. Cuman, kalau kamu memang terpaksa, mending gak usah."

"Gue kagak terpaksa." Kepalanya diputarkan pada arahku lagi, aku tahu dia kaget. "Udah ah, gak usah kaget gitu. Nih minum dulu. Tunggu disini, aku ambilin kain buat lap muka kamu itu. Kusam banget, sebentar ya." Aku mengambil kain berwarna putih di lemari kayu yang terletak di lantai atas.

Aku turun dengan kain tersebut dan mengambil air. "Sini." Kuarahkan tanganku pada mukanya. "Kamu jorok banget sih. Habis main basket ya?"

"Kamu kalau udah jadi pacar, manis ya. Kemarin-kemarin aja, serigala banget." Dia tampak sedang mengamati mukaku dengan senyuman terlukis di bibirnya.

Aku berhenti membersihkan mukanya. "Mau dilanjutin atau enggak?"

Lihat selengkapnya