Hari ini, hari pertamaku menjadi anak SMA. Katanya, masa-masa SMA adalah masa-masa yang sangat indah karena masa dimana setiap remaja berusaha mencari jati dirinya dengan melakukan hal-hal yang disukainya terutama hal yang membuat orang tua geleng-geleng kepala. Selain itu masa-masa SMA adalah masa dimana seseorang menjalin sebuah hubungan cinta monyet dan lainnya yang membuat masa tersebut adalah masa yang tak terlupakan.
Semenjak SMP aku sudah menjadi anak mandiri, melakukan segala sesuatu serba sendiri tanpa pernah meminta bantuan ayah dan ibu. Kedua orang tuaku sibuk mengurus perusahaan turun temurun milik keluarga dari kakek, ayahnya ibu. Keduanya tak punya banyak waktu denganku sehingga aku menghabiskan banyak waktuku dengan seseorang yang bekerja merapikan rumah yang sudah aku anggap seperti ibu sendiri, namanya Bi Surti.
Bi Surti adalah seorang wanita paruh baya berusia 50 tahunan yang tidak mempunyai anak. Dulu dia tinggal di kampung, tapi katanya dia dan suaminya memutuskan untuk merantau ke kota, agar bisa memberikan kebutuhan yang cukup untuk kedua orang tua mereka yang sudah sangat sepuh. Suaminya bernama Pak Budi, aku sering memanggilnya Mang Budi, dia juga bekerja di rumahku sebagai sopir pribadi. Keduanya adalah sosok orang tua yang sangat baik hati dan sederhana sehingga membuatku lebih dekat dengan keduanya daripada orang tuaku sendiri.
“Kakak mau berangkat sekarang ke kosannya? Agar bibi siapkan semua keperluannya,” tanya Bi Surti menghampiriku yang sedang sibuk membaca komik. Dia sangat sayang kepadaku. Dia selalu menemaniku kemana pun aku ingin pergi termasuk mengantarku untuk mencari tempat tinggal terdekat dengan sekolahku. Oh iya, aku tak suka dipanggil non atau nyonya, aku lebih suka dipanggil kakak oleh Bi Surti dan Mang Budi. Meskipun aku tak punya seorang adik.
“Boleh bi. Harusnya dari kemarin aku pindah ke sana, soalnya hari ini udah mulai MOS. Tapi karena kemarin ayah belum transfer makanya aku belum bisa pindah, baru bisa pindah hari ini dan aku ketinggalan satu hari MOS,” rengekku dengan wajah sedikit kesal.
Sebenarnya aku kesal kepada ayah dan ibu karena terlalu sibuk mengurus perusahaan hingga melupakan semua urusan anaknya. Tetapi Bi Surti selalu mengingatkanku bahwa orang tuaku bekerja keras demi menjamin kehidupan yang layak untukku. Namun tetap saja di dalam lubuk hatiku yang terdalam, rasanya ingin sekali, sesekali ayah dan ibuku mengantarku ke sekolah, tapi sepertinya itu hanyalah khayalanku saja.
“Yaudah bibi siapin sekarang ya.” Bi Surti pun melangkah masuk ke dalam kamarku dan menyiapkan barang-barang yang akan aku bawa ke kosan. Mulai dari baju, meja, buku-buku dan barang-barang lainnya. Dia memang sosok wanita tangguh yang selalu menginspirasiku untuk selalu berusaha sangat keras dalam menjalani hidup.
Dia selalu menginspirasiku menjadi anak yang berprestasi di sekolah. Mengerjakan segala sesuatu yang berhubungan dengan rumah namun selalu ingat dengan segala hal yang berhubungan denganku termasuk tanggal ulang tahunku. Semenjak Bi Surti bekerja di sini, hampir setiap tahun aku sering merayakan ulang tahunku bersamanya. Dan hampir setiap tahun juga, kedua orang tuaku selalu sibuk dan tak sempat menyisihkan waktunya sedikit untukku. Lalu kemana teman-temanku? Semenjak aku bersekolah, aku tak pernah mempunyai teman dekat. Aku selalu asyik sendirian, mungkin sesekali teman sekelasku pernah main ke rumahku, itu juga karena ada tugas yang harus dikerjakan bersama, selebihnya aku tak pernah menghabiskan masa-masa sekolahku dengan mereka.
Menginjak pendidikan SMA, aku benar-benar akan sendirian. Bi Surti tidak bisa ikut tinggal di kosan karena ia bekerja di rumah. Tapi aku yakin mungkin nanti di sana, aku akan menemukan seorang sahabat yang bisa menemaniku, mendengar curhatanku dan keluhanku seperti Bi Surti. Atau mungkin aku juga bisa membuka diriku untuk lebih mengenal dunia luar.
“Kak, bibi udah siapin semuanya. Kita berangkat sekarang aja ya, takut kemaleman.”
Apa aku bilang, meskipun Bi Surti sudah cukup tua, tapi kerjanya selalu gesit dan cepat bahkan mengalahkan anak-anak muda seusiaku. Semangat menjalani kehidupannya harus sangat patut dicontoh oleh anak-anak muda. Usia tak menjadi tolok ukur untuk seseorang bersemangat dalam menjalani hidup. Bahkan banyak anak-anak muda seusiaku yang kehilangan semangat dalam menjalani hidup karena permasalahan-permasalahan sepele, misalnya putus cinta atau hal-hal lainnya yang menurutku sangat sepele.
Aku terdiam beberapa saat lalu bangkit. “Let’s go!”
Kami pun pergi meninggalkan rumah dengan membawa banyak barang yang tersimpan di dalam bagasi bahkan di jok kursi belakang. Aku berpamitan kepada ibu dan ayah lewat telpon karena keduanya masih ada meeting yang benar-benar tak bisa ditinggalkan meski hanya sebentar untuk mengantarkanku saja.
Selama perjalanan, aku membaca buku “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono dengan diiringi lagu favoritku, “when your’re gone-Avril Lavigne”. Apakah aku bisa melewati hari-hari di SMA seperti saat aku duduk di bangku SMP? Selama aku SMP, aku tak pernah merasa kesusahan dalam melewati masa-masanya. Tapi sayangnya, aku sering melewatkan momen-momen yang sering dilakukan teman-teman sebayaku pada umumnya di umurku saat itu seperti nongkrong bareng di cafe, nonton festival musik, punya pacar dan bolos sekolah. Satu pun dari yang aku sebutkan barusan, aku tak pernah melakukannya. Bila dipikir-pikir, hidupku sangat serius dan monoton, setiap hari belajar, belajar dan belajar, mungkin sesekali aku keluar rumah ketika dipaksa oleh sepupu-sepupuku, tapi selebihnya aku habiskan hanya untuk belajar, membaca buku dan menulis. Mungkin menurut orang lain, hidupku tak seru. Ya, memang begitu. Tapi meskipun tak seru, aku tetap harus menjalaninya.
Namun ada momen yang tak bisa kulupakan pada saat duduk di bangku SMP. Aku pernah disukai oleh senior yang sangat terkenal di sekolah. Bukan hanya terkenal tetapi senior tersebut merupakan siswa yang sering mengharumkan nama sekolah dengan prestasi-prestasi emasnya. Dia juga sangat disukai oleh guru-guru sekolah, lalu bagaimana dengan siswa lainnya? Jangan ditanya, dia sangat didamba-dambakan oleh siswa perempuan baik teman sekelas maupun adik kelasnya, bahkan siswa laki-laki pun tak sedikit yang sangat mengaguminya. Anak-anak menyebutnya sebagai anugerah ketika bisa mendapatkannya dan dekat dengannya. Tapi menurutku biasa saja. Karena melihatnya sama saja seperti melihat lelaki pada umumnya, tak ada yang ingin ku ketahui lebih lanjut, apalagi berharap menjadikannya lebih dari senior, sahabat dekat atau pacar mungkin. Sama sekali tak pernah terbesit.
Sosok senior yang mempunyai nama Kevin hanyalah sosok senior yang berbeda umur satu tahun denganku. Aku akui, memang dia sangat berbeda jauh dengan anak laki-laki di sekolahku. Dia sangat istimewa karena mampu membuat orang-orang tersanjung kepadanya bukan karena prestasinya saja tapi juga keramahannya. Tapi untuk menjadikannya sebagai sosok yang mengisi hatiku tak pernah sedikit pun terlintas dalam benakku. Dasar aku perempuan yang tak punya hati kali ya, hehe.
Saat itu, pertama kalinya dalam hidupku, aku menerima sebuah surat darinya yang disisipkan dalam sebuah buku yang sering kubaca di perpustakaan. Ketika aku menemukan surat tersebut aku cukup terkejut, karena kupikir surat tersebut milik orang lain. Tapi setelah aku membaca bagian depan dari surat tersebut, aku menemukan ada namaku tertulis di surat tersebut. Ya ampun kok dia bisa tahu namaku sih. Seingatku, ketika menerima surat tersebut, aku tak pernah membalasnya karena aku lupa dimana aku meletakkannya dan yang lebih parahnya lagi aku tak pernah membuka surat tersebut. Mungkin dengan alasan itu juga, dia berani mengungkapkan perasaannya di depan banyak orang, karena dia tak pernah menerima balasan dari suratnya, mungkin juga dia berpikiran bahwa suratnya tak pernah ditemukan olehku.
Aku masih sangat ingat jelas ekspresinya sesaat aku memutuskan untuk meninggalkannya tanpa sebuah jawaban. Dia hanya terdiam beberapa detik kemudian tersenyum ketika aku menoleh sekilas. Anak-anak yang melihat kejadian tersebut hanya mencibir dan mengejekku habis-habisan karena telah melewatkan kesempatan yang tak akan pernah terulang kembali. Tapi aku benar-benar tak pernah menyesal melakukannya, karena saat itu, aku belum mengenalnya, jadi bagaimana aku bisa menyukainya dan menerima perasaannya? Aku kan bukan peramal yang bisa tahu bagaimana sikapnya yang sebenarnya, apakah baik atau pura-pura baik.
Aku hanya tersenyum pasi dan berkata kepada mereka, “jangan sok tahu hidup orang lain.”
“Kak, udah nyampe,” tepuk Bi Surti menyadarkanku.
Ternyata lamunanku tentang masa-masa SMP mampu membuat perjalanan menuju kosan begitu singkat. Kami pun turun dari mobil dan mengeluarkan satu per satu barang. Barangnya banyak sekali sudah seperti orang yang pindahan rumah.
Kosan yang akan menjadi tempat tinggalku selama SMA cukup ramai dihuni oleh anak-anak SMA yang mungkin jarak rumahnya jauh dari sekolah. Setiap ruangan tempat tersebut sudah terisi penuh dan tersisa kamarku yang belum terisi karena aku baru saja sampai. Sepertinya anak-anak lain sudah sampai lebih dulu beberapa hari yang lalu karena hari pertama masuk SMA pun sudah dimulai sejak hari ini. Mang Budi hanya bisa membantu membawa barang-barangku sampai depan gerbang karena tempat tersebut hanya boleh dimasuki oleh perempuan. Dengan terpaksa aku dan Bi Surti harus mengangkutnya berdua ke kamar yang letaknya lumayan jauh dari gerbang depan.
Baru beberapa langkah aku berjalan, tiba-tiba seorang perempuan berkaca mata berambut pirang menghampiriku dan menawariku sebuah bantuan.
“Sini, aku bantu!” pintanya sembari mengulurkan tangannya yang berkulit putih.
Aku menolak tawarannya karena aku belum mengenalnya dan tidak enak saja menerima bantuan dari orang asing. “Eh engga usah.”
“Enggak apa-apa. Kita sebelahan loh. Kamarmu yang di sebelah sana kan? sebelahan dengan kamarku,” ucapnya lembut sambil menunjuk kamarku yang memang bersebelahan dengan kamarnya.
Aku pun mengangguk, mengabulkan permintaanya karena melihat wajanya yang tampak sangat memohon, dia pun mulai membantu membawa barang-barangku. Ketika berjalan bersamanya menuju kamar, dia banyak sekali bertanya kepadaku seperti seorang wartawan. Aku hanya mengangguk dan sesekali menjawab singkat pertanyaannya karena aku masih kaku berbicara panjang lebar dengan orang yang baru kukenal. Aku juga berfikir bahwa mungkin saja jika nanti dia kuliah, dia cocok mengambil jurusan komunikasi karena cara komunikasinya sangat lancar bahkan kepada orang yang baru saja dikenalnya.
Ketika semua barang-barangku sudah selesai dibawa masuk ke dalam kamar. Ia pamit untuk kembali ke kamarnya.
“Aku balik ke kamar dulu ya, kalo ada apa-apa bilang aja.”
“Makasih ya udah bantu.”
Bi Surti menyiapkan makanan yang dibawanya dari rumah dan mengajakku untuk makan.
“Kak, makan dulu, udah sore. Kakak tadi Cuma sarapan kan belum makan siang.”
“Iya bi.”
“Ajak juga temen kakak ya.”
“Iya bi. Aku ke sebelah dulu ya.”
Aku pun mengetuk pintu kamarnya. Aku lupa tidak bertanya nama kepadanya lebih tepatnya tak pernah bertanya nama duluan sih, jadi aku tidak memanggil namanya ketika mengetuk pintu kamarnya.
“Assalamu’alaikum.”
Beberapa saat kemudian dia membuka pintu kamarnya, wajahnya menengok sedikit dari balik pintu sembari tersenyum. “Waalaikumussalam, ada apa tetangga?” dia juga tak bertanya namaku selama kita mengobrol tadi sehingga dia memanggilku “tetangga”.
“Oh iya namamu siapa? Aku lupa nanya tadi,” tanyanya yang bertanya lebih dulu kepadaku tentang nama.
Aku mengulurkan tangan, “aku Kiara, salam kenal ya!”
“Aku Putri, salam kenal juga ya Ra. Semoga kita bisa menjadi teman baik.”
“Iya, Bibiku udah nyiapin makan, gimana kalo kita makan bareng?” Dia diam sejenak mungkin sedang berfikir, “sebagai balasan karena kamu sudah bantu aku tadi,” lanjutku.
“Oke, mumpung aku belum makan.”
Aku menatapnya lagi ketika kita sedang makan. Hatiku berbisik, mungkinkah saatnya aku punya sahabat? mungkinkah dia yang akan menjadi seseorang yang dekat denganku? Aku berusaha membuka duniaku untuk dimasuki oleh orang lain. Sudah saatnya, aku harus hidup berdampingan dengan orang lain bukan asyik sendirian. Aku harap, aku bisa.
“Eh Ra, kamu udah tau besok harus bawa apa aja buat MOS?”
Aku menggelengkan kepala. Aku tidak tahu apa-apa tentang MOS, aku lupa bertanya hal-hal tersebut dan mencari tahu karena semenjak kemarin aku hanya fokus belanja barang-barang yang harus ada di ruangan yang akan ku tempati. Bi Surti juga tidak mengingatkan hal-hal tersebut karena bibi tak pernah tahu tentang istilah MOS dan lain sebagainya karena dia hanya sekolah sampai SD.
“Aku belum tau Put.”