PERTAMA

Dunia Gerhana
Chapter #2

Pernyataan Cinta

Aku pikir setelah Mos berakhir aku tidak akan bertemu lagi dengan sosok lelaki aneh yang disebut-sebut Putri sebagai seorang conten creator terkenal. Tapi waktu kembali mempertemukanku dengannya karena satu alasan, bolos di hari pertama MOS. Aku menuju ruang kantor sekolah tersebut karena anak-anak yang bolos dikumpukan semuanya di sana. Aku kira hanya aku dengannya saja yang bolos di hari pertama, ternyata ada beberapa anak yang benar-benar tak mengikuti MOS selama 3 hari. Seharusnya aku tak dihukum karena sehari doang bolos dan alasan bolosku juga jelas, ah tapi tetap saja aku dihukum.

Pertama kali seumur hidupku aku menerima hukuman karena tak mengikuti kegiatan sekolah. Semasa SMP aku tergolong orang yang tak pernah melewatkan satu pun kegiatan sekolah meskipun ada beberapa kegiatan yang aku ikuti dengan terpaksa. Tapi kali ini di hari-hari pertama SMA aku menerima sebuah hukuman yang sebetulnya bukan kesalahanku seluruhnya. Semuanya gara-gara orang tuaku yang terlalu sibuk. Tapi ya sudahlah, mungkin semesta ingin aku mempunyai cerita seperti ini dalam hidupku.

Di ruangan tersebut aku tak mengenal siapapun. Aku hanya kenal sosok lelaki aneh itu, selebihnya anak-anak yang baru kutemui hari ini. Dengan perasaan canggung aku duduk di antara mereka, menunggu informasi hukuman yang diberikan panitia karena tidak mengikuti MOS tersebut. Tiba-tiba ada salah seorang lelaki berhodie tosca bertanya.

 “Kamu keliatan orangnya rajin, tapi kok bisa ikutan dihukum kayak kita sih?” tanyanya penasaran yang sok tahu bahwa wajahku terlihat tidak seperti anak yang suka mengabaikan aturan sekolah. Mungkin di matanya, aku terlihat lugu dan tak banyak tingkah.

Memangnya orang yang dapet hukuman orang yang harus kayak gimana kalo orang sepertiku gak pantes. Oh mungkin orang yang kayak dia kali ya.

 Aku memandanginya, penampilannya acak-acakan, memakai hodie, rambut gondrong dan seragama putih yang dikeluarkan. Entah siapa namanya, aku tak mau berkenalan dengannya. 

Di sini aku akan berhadapan dengan orang seperti apa lagi Tuhan? Jujur aku sudah lelah.

Aku hanya bergumam tak menjawab ucapannya tersebut. Bagiku untuk apa menjelaskan siapa aku sebenarnya kepada orang lain, toh orang lain akan tetap percaya dengan apa yang dilihatnya bukan apa yang aku jelaskan. Selain beberapa anak lelaki, ternyata ada dua orang perempuan yang juga mendapat hukuman sepertiku. Mereka baru saja tiba. Penampilannya sangat menarik perhatian orang lain, rok abu-abu ¾ dengan seragam putih yang tampak ketat. Tanpa permisi, mereka langsung duduk di dekatku dan berbicara sok kenal.

“Apa hukumannya? Aku telat yah? Aku habis ada urusan dulu tadi, aku...aku...” dia sangat bawel bertanya ini itu kepada kita yang sudah lebih dulu datang dan menunggu. Aku tak banyak bicara hanya diam, aku kan tidak mengenalnya.

Lelaki yang tadi bertanya kepadaku menjawab pertanyaan perempuan tersebut dengan nada yang datar. “Santai aja kali, jangan bawel gitu.”

Untuk yang kedua kalinya setelah pertemuan pertamaku di lapangan. Aku bertemu kembali dengannya, senior yang pernah menyatakan cinta kepadaku atau anak-anak memanggilnya ketua panitia MOS. Dia masih dengan penampilan rapinya, mengenakan sweeter abu-abu yang membuat ketampanannya bertambah berlipat-lipat.

Dia menyodorkan kertas yang berisi tugas untuk kami yang dihukum. “Nih kertasnya, kalian sudah ditetapkan akan berpasangan dengan siapa dan akan dimentori oleh siapa selama menjalani hukuman menulis essay untuk dua hari ke depan. Di situ juga sudah tertulis nomor telpon mentor kalian yang harus kalian hubungi setelah kalian keluar dari ruangan ini. Kalian ngerti?” tanyanya ramah.

“BAIK KAAAK.”

Aku menghembuskan nafas kesal ketika selesai melihat kertas pembagian pasangan dan mentor tersebut. Rasanya Tuhan tak adil, menempatkanku dengan orang-orang yang menurutku agak menyebalkan, ya meskipun aku tak tahu hal apa yang menyebalkan dari keduanya. Ya, aku dipasangkan dengan si lelaki aneh yang terkenal di instagram dan dimentori oleh orang yang pernah menyukaiku.

Rasanya aku ingin menghilang saja Tuhan.

Aku kembali ke kelas yang berada di lantai paling atas, lantai tiga dan dua ruangan sebelum pojok, kelas X-E. Sekolah ini adalah sekolah yang cukup besar. Setiap tahunnya sekolah tersebut selalu menerima murid baru sebanyak seratus lebih sehingga setiap kelas dibagi sampai 7 ruangan. Aku cukup bersyukur karena bisa sekelas dengan Putri dan tidak sekelas dengan lelaki aneh tersebut. Karena jika sekelas dengannya, mungkin akan banyak hal aneh yang ku alami, meskipun aku juga tak pernah tahu, mungkin juga tak sekelas dengannya, aku akan tetap berhubungan dengannya. Aku tidak tahu rencana Tuhan. Setidaknya aku tak melihatnya setiap hari saja, itu sudah cukup.

“Ra, kenapa wajahnya kesel gitu?” tanya Putri ketika aku sampai di kelas dengan wajah cemberut.

“Di bawah ada yang ganggu? Kamu baik-baik aja?” tanyanya lagi memastikan keadaanku. Baru beberapa hari saja mengenalnya, dia sangat perhatian kepadaku apalagi jika ada orang yang mengangguku. Dia seakan menjadi garda terdepan yang siap melindungiku.

“Engga put. Aku Cuma kesel aja karena harus dipasangkan dengan lelaki aneh aja.”

“Lelaki aneh? Lelaki aneh siapa Ra? Emang di sekolah ini ada lelaki aneh?”

“Ada. Lelaki yang kamu kepoin tempo hari itu.”

“Hah? Maksudmu Raga?”

“Iya emang siapa lagi lelaki aneh yang kutemui akhir-akhir ini.”

“Bagus dong Ra. Kali aja kalian bisa jadi pasangan.”

Aku tersedak. Pasangan? Aku dengan Raga menjadi pasangan? Bahkan otakku tak pernah ingin memikirkannya. Aku dan Raga itu benar-benar tak cocok, bagaimana cara kami menjadi pasangan. Semoga Tuhan tak ikut campur dan repot-repot mengurusi hal-hal seperti ini.

“Iya kan Ra, siapa tahu, kita kan gak tau hari esok.” Putri menegaskan ucapannya tersebut seakan ia benar-benar ingin melihat aku dan Raga menjadi sepasang kekasih.

Aku hanya berigidig mendengarkan ucapannya tersebut karena aku tak mau membayangkan jika ucapannya memang jadi kenyataan. Aku tidak mau Tuhan.

Di sela-sela obrolanku dengan Putri yang semakin ngaco, ada dua orang perempuan di kelasku yang menghampiri kami dengan menawari kue yang dibawanya. Dengan tersenyum manis keduanya berbicara ramah kepada kami.

“Hei, ini ada kue, ayo dicoba! Sebagai awal perkenalan kita. Semoga kita bisa menjadi teman yang baik,” ucap salah seorang gadis berkerudung yang berkaca mata tebal. Penampilannya seperti anak kutu buku. Tapi dia sangat cantik dengan hidung mancungnya dan mata belonya.

“Iya, ayo dicoba!” ucap gadis berambut pendek yang mempunyai mata indah yang ada di sebelahnya.

Awalnya aku dan Putri saling melempar pandangan isyarat untuk menerima tawaran mereka. Lalu Putri pun segera mengambil kue tersebut dan mulai berkenalan.

“Makasih ya kuenya, enak banget. Kalian siapa namanya?”

“Makasih juga pujiannya. Aku Pratiwi biasa dipanggil Tiwi.”

“Kalau aku Dania biasa dipanggil Nia cantik.”

Aku memperhatikan mereka berdua. Mereka terlihat sangat humble dan ramah apalagi Dania terlihat suka humor anaknya. Sedangkan Tiwi terlihat sangat gila belajar sama sepertiku.

“Kalo aku Putri dan ini Kiara, dia anaknya gak suka banyak ngomong maklum sukanya belajar,” canda Putri yang sedikit menjelaskan siapa aku sebenarnya kepada mereka. Mereka hanya tertawa kecil ketika mendengar penjelasan Putri tersebut.

“Semoga kita bisa berteman baik ya.”

“Iya. Semoga!”

“Kita ke tempat duduk dulu ya.”

“Iya.”

Dari semenjak kehadiran mereka aku tak banyak bicara, hanya sesekali tersenyum dan ikut tertawa ketika Dania mulai bercanda. Sampai mereka pamit ke tempat duduk pun belum ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutku untuk sekadar menimbrung obrolan mereka atau bertanya. Maklum, aku gengsi dan suka kebingungan untuk bersikap di depan orang asing, lebih tepatnya aku tak terbiasa berkumpul dan mengobrol dengan banyak orang.

“Ra, jangan diam terus dong, sesekali kamu juga harus coba buat mengungkapkan apa yang kamu rasa. Aku jamin, itu akan lebih baik.”

Putri benar aku harus mencoba untuk bercerita kepada orang lain. Sudah lama aku memendam apa yang aku rasakan itu sendirian atau hanya kubagi dengan Bi Surti. Selama ini terkadang aku masih merasakan sesak karena terlalu sering menyimpan sesuatu sendirian, tapi aku juga tak mau mudah percaya kepada orang lain, takut dikecewakan, itu saja. Namun karena aku sudah tidak hidup dengan Bi Surti, sepertinya aku harus mulai membiasakan diri untuk terbuka kepada orang lain, khususnya teman dekatku. Selain agar suasana mengobrol tidak kaku dan dingin tapi untuk membuat hatiku lebih tenang dan plong.

Tuhan, tolong bantu Kiara. Kiara mau mulai percaya kepada orang lain. Tolong selalu kuatkan Kiara Tuhan.

~~~~

Aku tidak menuruti perintahnya untuk segera menghubungi mentor setelah keluar dari ruangan karena perasaanku sedang tidak enak. Sehingga dia memutuskan untuk meminta nomorku dan nomor Raga kepada panitia bagian registrasi ulang. Hasilnya, dia sudah membuat grup chat untu kami bertiga.

“Mentoring Essay.” Itulah nama grup yang dipilih oleh Kevin. Biasanya aku selalu berantusias dengan hal-hal yang berkaitan dengan tulis-menulis, tapi kali ini karena mentornya dia dan berpasangan dengan lelaki itu, aku sedikit kurang berantusias. Moodku tidak bisa benar-benar baik ketika mendengar nama mereka berdua. Karena mereka berdua adalah orang-orang yang meriuhkan hari-hari pertamaku di SMA. Tapi aku juga tidak mau perasaan tidak enak ini berlangsung lama dan mengganggu fokus untukku belajar. Aku akan segera melupakan perasaan tidak enak ini dan mulai gila belajar seperti biasanya.

Kevin

Halo guys. Hari ini hari pertama kita akan menjalani mentoring essay, diharapkan kalian bergegas ya untuk memulainya. Kita bertemu di taman sekolah sehabis pulang ya. Semoga kalian bisa bekerja sama!

Dengan perasaan ragu, aku pun menjawab ajakannya di grup tersebut agar terlihat biasa saja dan tak ada hal yang istimewa di antara kita.

Kiara              

Siap!

Raga              

Berapa lama mentoring essay setiap harinya?

Kevin            

Ya Cuma dua jam lah.

Raga             

Enggak kelamaan tuh. Kan Cuma mentoring kenapa harus selama itu?

Kevin            

Yaudah kamu maunya berapa lama?

Raga             

Aku ngikut Kiara aja.

Aku? Kenapa aku. Aku kan tidak mempermasalahkan berapa lama mentoringnya. Aku hanya mempermasalahkan kenapa harus ditempatkan bersama mereka.

Kiara              

Aku ikut mentor aja.

Raga               

Kamu jangan ngikut-ngikut mentor dong. Harus punya pendapat sendiri

Dia memintaku untuk punya pendapat sendiri sedangkan dirinya tidak punya pendirian dan mengikutiku. Dasar lelaki aneh. Semakin membuatku tak mau berpasangan dengannya.

Kiara              

Kalo ngikutin keinginanku bakal lebih dari dua jam, karena aku suka sama dunia tulis-menulis, makanya aku ikut mentor aja agar tidak menyita banyak waktu.

Kevin             

Good answer Ra!

Setelah beberapa menit Kevin menjawab pesanku di grup. Raga tak kembali melemparkan pendapatnya di grup. Entah kemana dia. Dia kan aneh, jadi tak heran jika tiba-tiba menghilang.

Kejadian yang menimpaku tak mengendorkan semangatku untuk selalu belajar dan belajar, bahkan hari ini aku sangat menyukai mata pelajarannya, karena berbicara tentang sejarah. Aku sangat menyukai buku-buku yang berbau sejarah, mungkin karena di dalamnya menyimpan banyak rahasia yang harus dipecahkan. Selama pelajaran berlangsung aku sangat berantusias mendengarkan penjelasan guru dan sesekali bertanya banyak hal mengenai penjelasan tersebut sampai membuat anak-anak lain sedikit jengkel karena aku sering bertanya di waktu yang sebentar lagi akan pulang. Seperti biasa, aku tak peduli dengan cibiran mereka. Aku hanya fokus pada mata pelajaran hari tersebut.

Pernah ada seorang anak lelaki meneriakiku karena sikapku seperti itu dan menyebutku “kutu buku”. Aku tak memasukannya ke dalam hati karena dari semenjak SMP aku sering diperlakukan seperti itu. Mungkin sesekali aku kesal tapi tak pernah berlangsung lama, hanya beberapa menit saja.

Setelah selesai mata pelajaran terakhir aku buru-buru pergi ke taman sekolah. Bukan karena ingin cepat-cepat bertemu dengan Kevin atau Raga, tapi aku ingin segera menyelesaikan mentoring hari ini agar tidak bertemu dengan mereka berdua setelah dua hari setelahnya. Namun keinginanku terhenti ketika aku tak sengaja menabrak seorang lelaki tinggi berkulit hitam manis.

“Sorry...sorry” aku segera mengambil buku-bukunya yang berjatuhan.

Lihat selengkapnya