Ujung Pandang, 1997.
Bukan karena hujan keras semata, tapi tanggung jawab sebagai ketua panitia yang membuat Salomo masih betah di rumah Haniel saat itu.
Hanya tinggal tiga orang panitia Natal, ditambah Haniel—sebagai tuan rumah—yang masih bertahan di ruang tamu. Empat orang yang kuliah di jurusan yang berbeda itu masih sibuk membicarakan hal-hal yang perlu dipersiapkan menjelang perayaan Natal persekutuan mereka. Meski sehabis kebaktian barusan, rapat panitia segera digelar.
Ayah, ibu, dan seorang adik Haniel lebih memilih di kamar masing-masing. Sedangkan seorang pelayan di rumah Haniel, masih sibuk di dapur membereskan piring, sendok, garpu pun gelas yang baru saja dipakai sebagai prasarana makanan dan minuman jasmani saat selesai ibadah dan saat rapat berlangsung.
Lagi empat menit jam sepuluh, saat hujan tak lagi menderas; Nikodemus memohon pamit pada Haniel dan kawan-kawannya.
"Kamu Ime, sama Niko saja. 'Kan satu jurusan. Saya tunggu temanku di sini. Mau sama-sama ke Maros ini malam. Mungkin lagi satu jam mereka tiba," ujar Salomo.
Imelda yang tak menyangka rencana Salomo menampakkan raut keheranan. Untuk ke rumahnya jalannya mengarah ke kabupaten Gowa. Namun ia segera berdiri. "Ya, sudah. Asal Niko mau antar saya?"
"Mau-lah!" sela Salomo.
Nikodemus cuma meng-iya-kan semua ucapan temannya. Ia berjalan duluan menuju halaman.
Haniel berdiri mengiring langkah Nikodemus dan Imelda sampai ke tempat parkir. Salomo tetap duduk bersila kaki di atas permadani, sambil sesekali mencatat di secarik kertas.
Saat motor Nikodemus sudah melintas pagar, Haniel kembali ke ruang tamu.
"Kamu itu kenapa, ces? Imelda kurang apa lagi?" Haniel tersenyum. Ia lalu menyulut sebatang rokok.
"Itu lebih baik. Daripada kasih harapan anaknya orang." Salomo berbicara tanpa memandang Haniel. Ia membaca beberapa lembar surat panitia.
"Kurang apa lagi Ime. Sudah calon dokter. Orang kaya tapi tidak sombong. Kamu minta ditraktir setiap hari sama dia, dia pasti mau. Kecuali mungkin kalau kamu minta dibelikan rokok dan minuman keras." Haniel kembali tersenyum. Ia mengambil tabloid Bola di kolong meja.
"Iya, memang tidak sombong. Cuman saya tahu alasan saja itu mobilnya lagi di bengkel."
"Lha, kalau kamu tahu itu alasannya yang dibikin-bikin, kenapa kamu tidak respon seratus persen. Antar dia! Setahu saya, kamu belum pernah sekalipun bonceng Ime."
"Justru itu yang bahaya, ces. Kamu kayak tidak tahu saja." Salomo memerhatikan daftar sumbangan para donatur di proposal.
"Apanya yang bahaya. Justru peluang mendapatkannya lebih besar."
"Kamu ini pura-pura tidak tahu atau memang tidak tahu. Saya tidak mau jadi pacarnya Ime. Apalagi itu motor 'kan bukan motorku. Itu motor kakakku."