Sudah masuk hari ke-tiga, sejak kebaktian di rumah Haniel, tapi Imelda belum pernah lagi bersua Salomo. Setiap berjumpa teman persekutuan—baik di sekretariat maupun di tempat lain, jawabannya semua sama: Salomo di Mamuju. Andai Salomo punya nomor yang bisa dihubungi, maka sudah pasti Imelda menelponnya. Tapi Salomo tak punya sambungan PSTN di kediamannya.
Namun di hari itu, saat pulang dari kampus, entah mengapa batinnya mendadak mengajaknya ke kediaman Salomo. Dan ketika mobilnya sudah hampir tiba di dekat SMP 8, ia memutuskan tidak membelokkan mobilnya ke Jl.Batua Raya—arah ke kediamannya—namun terus menelusuri Jl. Abdullah Daeng Sirua hingga berbelok ke jalan Jl.Andi Pangeran Pettarani.
Imelda menghentikan laju mobilnya di depan sebuah rumah yang pagar besinya bercat putih. Tapi ia tak bisa membuka pagar itu. Tergembok. Tak ada motor yang Imelda lihat terparkir. Pintu depannya pun tertutup. Sepertinya semua penghuninya sedang keluar, batin Imelda. Tapi ia tak tahu ke mana.
Imelda merenung beberapa detik; mencoba mencari tahu. Ia tahu ibu Salomo biasanya sudah pulang dari kantor jika sudah lewat jam satu siang. Imelda sudah berkali-kali bertamu ke rumah itu saat matahari tengah condong ke arah barat, seperti saat itu. Sedang kakak Salomo, bekerja di sebuah firma hukum, yang waktu pulang kantornya tidak menentu. Apakah mereka sekeluarga ke Mamuju? Imelda tentu tak tahu. Imelda lantas berbalik; siap melangkah kembali ke mobilnya.
Seorang ibu memakai daster berjalan melintas samping Imelda. Di tangannya nampak memegang sabun mandi dan sabun cuci piring. Nampaknya ibu itu baru pulang dari kios yang berjarak dua rumah dari rumah Salomo. Ia menyapa Imelda, "Cari siapa?" Imelda terhenyak dengan jawaban tetangga Salomo itu. Ia segera pamit dan berterima kasih pada ibu itu.
Sambil menyetir, batinnya seolah dipenuhi busur yang siap dilesatkan pada orang-orang yang dianggapnya sudah membohonginya. Ia hampir saja menabrak seorang ibu yang menyeberang seraya menggandeng seorang anak, akibat ia kurang konsentrasi. Ia meminta maaf pada ibu itu dan mengatakan bahwa ayahnya masuk rumah sakit. Ibu itu sempat mengomel padanya, lantas mengerti. Ia memaafkan Imelda dan mengingatkan hati-hati. serta berucap semoga ayah Imelda cepat sembuh. Ya, ayah Imelda memang sudah sembuh, setelah hampir tiga bulan diopname. Tak lagi merasakan penyakitnya. Ia sudah tenang di tempatnya yang baru. Imelda tak ingin menyebut orang lain yang masih hidup masuk rumah sakit, khawatir nanti sakit betulan.
Imelda melanjutkan misinya, menuju rumah sakit tempat Salomo diopname; sesuai keterangan dari tetangga Salomo. Ia mempercepat langkahnya, sejak dari parkiran.
***
Sebuah botol infus baru saja diganti oleh seorang perawat. Haniel, Siska, Yan dan Tomos mengucapkan terima kasih saat perawat itu berjalan keluar ruangan.
Bagian betis kaki kiri dan bagian lengan tangan kanan Salomo dibalut perban. Beberapa bagian tubuhnya luka memar. Salomo berbaring dengan bagian kepala ditumpu dua buah bantal kepala. Lisda, kakak Salomo, keluar dari kamar rawat menuju apotek, begitu empat orang pembesuk Salomo tiba di kamar rawat.
Salomo tetap mengingatkan pada teman-temannya agar apa yang sedang menimpa dirinya tidak sampai ke telinga Imelda. "Biar dia tahu sendiri. Biar saya yang bicara dengannya," ujar Salomo.
Saat itu pula, seseorang—berambut gondrong sepinggang—mengusulkan agar Tomos menjadi ketua panitia sementara, dan semua sepakat dengan usulan Yan, sang ketua persekutuan.
"Dan teman-teman lain juga harus diberitahu," kata Haniel.
"Kecuali Imelda," potong Salomo.
Lisda sudah kembali bergabung di dalam kamar bangsal itu, saat mereka akan berdoa. Empat orang pembesuk Salomo lantas mohon pamit ketika kata "Amin" telah diucapkan oleh Yan.
Di sebuah koridor rumah sakit, wajah keempat orang itu mendadak tegang saat bersua seorang gadis yang menggunakan rok panjang model A-Line. Gadis itu hanya bertanya lebih detil di mana kamar rawat Salomo dan mengucapkan terima kasih lantas segera gegas berlalu. Wajahnya tetap menampakkan raut tak bersahabat dengan keempat orang itu.
Tanpa banyak basi-basi setelah mengucap "Syaloom" Imelda langsung duduk di samping ranjang tempat Salomo berbaring. Lisda lantas mencari alasan untuk keluar sebentar ke warung telepon. Lewat teman-teman Salomo, Lisda sudah tahu bagaimana perasaan dan tindak-tanduk Imelda ke Salomo, tapi ia tak mau mencampuri urusan adiknya jika sudah menyangkut soal asmara. Dan kalau ia boleh bersuara, Lisda sebenarnya sangat senang jika Salomo dan Imelda menjadi sepasang kekasih.
"Tahu dari mana kamu saya di sini?" tanya Salomo, saat Lisda baru saja menutup pintu kamar.