Aku tak tahu bagaimana takdir bekerja, tapi aku meyakini bahwa Tuhan mengendalikannya secara penuh, tanpa campur tangan manusia. Makanya, setiap apa yang ditakdirkan akan menemui akhir yang baik, karena sejatinya tak ada takdir buruk. Anggapan orang-orang yang tak terima akan takdir itu lah yang mengubah keindahannya.
Devika, hasil keputusan dewan pertimbangan sudah keluar. Kamu dipilih untuk melanjutkan perjuangan. Persiapkan diri.
Sebuah pesan whatsapp baru saja masuk, pada pukul sepuluh malam lewat lima menit, saat dimana aku hendak mengistirahatkan diri dari lelahnya bergulat dengan tugas kuliah. Kak Jordan—seorang senior mengirimnya. Sepenggal pesan sempat kubaca dari balik notifikasi. Rencananya esok hari akan dijawab, tapi entah bagaimana jari jemariku tak sengaja membukanya.
Ternyata ada pesan lanjutan, selang beberapa detik dari pesan sebelumnya.
Kamu nggak akan berjuang sendirian, seluruh pengurus siap mendampingimu dari jauh, juga siap membantumu beradaptasi. Semangat ya. Anggap ini sebagai pengalaman dan wadah untuk mengembangkan diri. Usahamu tidak akan sia-sia.
Usai membaca pesan tersebut aku sedikit gelisah, meski sebelumnya sudah ada pemberitahuan mengenai pencalonanku untuk masuk pada organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Aku sempat menolak, mengatakan dengan sejujurnya. Kesibukanku sebagai mahasiswa akhir menjadi alasan terkuatnya, pun dalam waktu bersamaan aku harus menjalani kegiatan kuliah merdeka, membuat laporan kerja praktek, juga mempersiapkan diri untuk penyusunan skripsi. Bukankah alasan itu cukup untuk mementingkan diri sendiri dulu?
Aku cukup lama mengetik—membaca—menghapus—mengetik kembali, berulang kali sampai menemukan final kalimatnya.
Maaf Kak, kali ini aku nggak bisa bantu. Semester ini aku lumayan sibuk dengan kegiatan perkuliahan. Dari pada nanti keteteran, lebih baik mundur dari sekarang. Tolong sampaikan maafku pada ketua umum karena tidak bisa mengambil amanah itu. Semoga dapat pengganti lebih baik dan terima kasih sudah memilihku sebelumnya.
Bukannya tak mau mengemban amanah lagi, tapi ada resiko lumayan besar yang harus dipertaruhkan. Aku ini, sudahlah tak bisa membagi waktu, dihadapkan pula pada berbagai kegiatan, akan semakin mempercepat ketidakwarasanku. Kesehatan mental itu jauh lebih penting dari apapun.
Keputusanku sudah bulat. Dipikir-pikir lagi, mementingkan diri sendiri kadang dibutuhkan saat dihadapkan oleh beberapa pilihan. Bukan egois, tetapi memilih sedikit kemungkinan terburuk adalah jalan paling aman.
Sembari menunggu balasan pesan sebelumnya, aku kembali mengirimkan pesan lagi. Kali ini mengingatkan akan sesuatu hal. Tak tahu apakah terkesan menggurui, tapi jauh dari lubuk hati bahwa aku hanyalah membela diri.
Amanah tak akan salah memilih pundak kan, Kak? Itu yang sering digaungkan dalam setiap perjuangan. Kalau bukan aku, pastilah pundak lain akan menggantikannya. Sekali lagi, aku minta maaf.
Baru saja terkirim, pesanku langsung dibaca detik itu juga.
Kami juga nggak bisa memaksa, Dev. Keputusan sepenuhnya ada ditanganmu, tapi semoga kamu sudah memikirkan dengan baik. Habis Asar, temui Kak Akbar di masjid kampus ya. Akan lebih baik kalau menjelaskan dan meminta maaf secara langsung.
Dengan perasaan cemas aku mengakhiri percakapan whatsapp dengan Kak Jordan. Tak enak hati juga sebenarnya karena sudah menolak, akhirnya jadi beban pikiran.
***
Lorong jurusan—disanalah aku berada sekarang. Duduk termenung memikirkan kejadian semalam. Sesekali aku mengusap wajah, lalu menunduk. Entah sedang memandangi debu-debu lantai, semut-semut berjalan atau sekedar melihat pengelupasan sepatu legend-ku pada semasa awal perkuliahan, yang turut menjadi saksi perjalananku selama tiga tahun ini.