Dia masih sama, begitu pula dengan senyumannya saat ini, masih indah seperti awal saat aku menemukannya. Bedanya, kini aku bisa memandang wajahnya jauh lebih dekat dari sebelumnya.
"Kamu Devika Jennaira?" tanyanya saat aku sedang kebingungan diambang pintu.
Aku mengangguk pelan.
"Silahkan masuk ke ruangan. Raka—selaku Presiden Mahasiswa sudah menunggu. Tenang saja, orang-orang didalam sana nggak nyeremin kok, yang penting percaya aja sama diri sendiri. Semangat!"
Seulas senyum coba kutunjukkan, sebagai bentuk keramahan atas hiburannya barusan. "Terima kasih."
Jangan ditanya debarannya seperti apa, sudah pasti tak karuan, campur aduk, dan membahagiakan, seperti sedang memenangkan sebuah kompetisi setelah lamanya menunggu hasil pengumuman.
Harusnya aku lebih gugup saat memasuki ruangan interview dan bertemu dengan orang-orang yang akan memberiku banyak pertanyaan, mungkin juga intimidasi nantinya. Namun ternyata, kegugupanku jauh lebih terasa saat berdekatan dengan dia yang aku kagumi dalam diam.
"Sudah bertemu Ghazy tadi? Dia tidak bilang hal-hal aneh, kan?" tanya Raka, sesaat setelah aku menduduki kursi biru didepannya.
"Maaf, Ghazy siapa, ya?"
"Muhammad Ghazy Baihaqi, yang memanggil kamu untuk interview pertama tadi dan yang menyuruh kamu masuk ke ruangan ini. Dia bilang apa?"
Aku menggeleng pelan. "Nggak ada," jawabku singkat, guna menghindari hal tak diinginkan, juga mengambil langkah aman. Sebenarnya, lebih tak mau berurusan dengan mereka.
Dihadapanku sekarang ada empat orang, dua laki-laki dan dua perempuan. Aku mengenal salah satunya—Mahesa—Wakil Presiden Mahasiswa tahun ini. Bisa disebut kami adalah teman satu ekstrakulikuler pramuka, meski beda sekolah, tapi kami sering berada pada kegiatan-kegiatan pramuka semasa SMA.
Kehadirannya tak menjadikanku mendapat perlakuan khusus, justru aku malah mendapatkan tatapan sinis dari salah seorang perempuan yang tak kuketahui namanya. Dia menunjukkan raut wajah tak suka.
"Apa motivasimu untuk bergabung dengan kami? Dan jelaskan kontribusi apa yang akan kamu berikan jika nanti diterima dalam keanggotaan BEM periode ini." Perempuan berwajah sinis itu bertanya.
Benar kata Ghazy, tak ada yang perlu ditakutkan pada interview ini, meski suasananya tetap menegangkan. Namun, aku sudah menyiapkan jawaban terbaik atas pertanyaan itu.
"Aku suka tantangan dan ada hal yang ingin aku gapai. Makanya, aku ingin menjadi salah satu agen perubahan dalam membangun peradaban kampus ini. Mungkin terdengar over percaya diri, tapi begitulah harapanku saat memutuskan untuk mendaftar keanggotaan BEM tahun ini. Aku tidak bisa menjamin sepenuhnya bahwa akan bisa berkontribusi banyak, tapi aku akan berusaha memberikan kontribusi terbaikku pada tanggung jawabku nanti."
Respon yang ambigu, saat ke-empat orang didepanku menganggukan kepala dengan ekspresi datar. Kalau puas atas jawabanku harusnya mereka terlihat senang. Atau mungkin aku sok pandai menilai orang?