Ponselku terus berdering selama perjalanan menuju rumah. Data selulernya memang sengaja diaktifkan, agar aku tahu bagaimana Presiden Mahasiswa atau yang memiliki peran penting di BEM lainnya memperlakukan anggota sepertiku, yang pada rapat perdana malah izin—tak bisa hadir karena alasan orang tua. Setelah itu, baru kuputuskan untuk bertahan atau berhenti saja.
Devika Jennaira, bagaimana kabar orang tuamu? Aku harap mereka baik-baik saja. Selagi di rumah, nikmatilah waktumu bersama mereka, tapi jangan lupa pada kami, ya. Kita ketemu dirapat selanjutnya.
Sudah kuputuskan. Aku akan tetap bertahan. Semoga kebijaksanaan Raka selaku pemimpin organinasi tak berubah selama masa kepemimpinannya.
Terima kasih sudah memberiku izin dan tidak memakiku seperti yang lainnya. Aku akan berusaha menepati ucapanku.
Percakapan grup BEM berubah menjadi ruang chat untuk membicarakan ketidakhadiranku. Banyak yang protes, juga tak terima kalau aku pulang ke rumah, sedangkan mereka harus menahan diri demi rapat perdana itu.
Selain pesan yang kuterima dari Raka, rupanya ada dua orang yang membelaku. Delia menjelaskan tentang alasan kepulanganku ke rumah dan Ghazy memberikan saran agar orang-orang bisa menjaga ketikan terhadap hal-hal yang tak mereka tahu keadaan sebenarnya.
"Bagaimana aku tak jatuh hati padanya? He is a good man. Delia pun begitu, she is my best friend."
Aku mungkin terlihat egois saat ini, tapi akan kutebus dengan kontribusi pada kegiatan-kegiatan BEM nanti.
Keluarga memang selalu menjadi tempat paling nyaman untuk pulang atau sekedar merehatkan diri dari lelahnya dunia diluar rumah. Kedatanganku disambut oleh senyuman Ayah. Dia duduk di kursi ruang tengah sembari menghadap ke televisi. Tontonannya tak jauh dari kabar berita—acara kegemarannya. Ayah memang kehilangan kekuatan pada anggota tubuh kanannya, pendengarannya pun sedikit tergganggu, tapi masih cukup berfungsi untuk mendengar dan melihat. Ada satu hal lagi yang membuatku sedih saat melihat Ayah, dia kesulitan untuk berkomunikasi, suaranya tak jelas lagi saat berbicara. Jadinya, aku tak bisa mengobrol lagi dengannya, kecuali menggunakan bahasa tubuh.
"Ibu mana?" tanyaku pada Ayah usai menyalaminya seraya meletakkan roti tawar yang kubeli pada perjalanan pulang tadi. Tangan kurus itu menunjuk ke arah dapur dan aku langsung tahu. "Ayah mau roti?"
Ayah mengangguk cepat, segera kuambil selembar roti dan mengoles selai coklat diatasnya. Suapan pertamanya terlihat lezat, cukup mengguggah seleraku juga. "Devika nemuin Ibu dulu, ya."
Senyumku merekah dengan lengkungan nan lebar saat melihat Ibu sedang asyik memasak. Aroma makanannya menusuk hidung. Tak sabar rasanya ingin segera mencicipi makanan terenak di dunia.
"Lagi masak apa, Bu?" tanyaku kala mendekat kearahnya.