Rutinitas sebagai seorang mahasiswa harus kembali dijalani. Aku cukup sibuk akhir-akhir ini, karena harus membagi waktu pada beberapa hal. Kegiatan riset kuliah merdeka yang masih berjalan proses laporannya, tugas akhir yang sudah menanti untuk dikerjakan, responsi laporan kerja praktek dalam beberapa hari mendatang, dan program kerja kementerian BEM yang baru mau dimulai.
"Sudah tahu orangnya nggak bisa multitasking, tapi malah memilih untuk merepotkan diri sendiri. Jadinya, bingung sendiri, kan harus memprioritaskan yang mana dulu?" cecarku pada diri sendiri yang kerapĀ gegabah mengambil keputusan.
Secara bersamaan, aku mendapatkan dua tanggung jawab hari ini. Bimbingan untuk laporan riset, juga persiapan program kerja pertama BEM.
"Dev, enak nggak masuk organisasi BEM?" Teman satu tim riset bertanya padaku, disela waktu menunggu dosen untuk bimbingan.
Helaan nafas panjang yang pertama kali berhembus. "Pasti ada enak dan enggaknya sih, Sha. Aku masih dalam fase menikmatinya."
"Oh gitu. Kalau kita menyukai suatu hal, meskipun banyak nggak enaknya, bakalan enjoy kok jalaninnya. Kayak kita sekarang, riset itu menguras tenaga dan pikiran, tapi karena kita senang pada bidangnya. Jadinya, nikmat buat dijalani."
"Masuk BEM bukan hal yang kuingankan sebenarnya, Sha. Keadaan lah yang memaksaku untuk masuk kesana. Namun, pada hal yang tidak kita sukai, ternyata ada kebaikan didalamnya."
Mengingat pertemuanku dengan Ghazy, aku merasa jalan yang kutempuh tidak terlalu buruk. Berkat masuk keanggotaan BEM, aku bisa lebih dekat dan mengenal pribadinya.
Singkat cerita, ternyata kita berdua beda pulau, tapi masih dalam satu provinsi yang sama. Bisa ditempuh dengan jalur udara maupun jalur air. Tergantung kondisi dan keuangan kalau mau saling berpijak pada tempat asal.
"Kok, senyum, Dev?"
Mataku berotasi kesana kemari untuk mencari jawaban pasti. Tidak mungkin kuberi alasan senyumku adalah karena mengingat Ghazy.
"Senyum itu ibadah, Sha. Obat lelah juga," alasanku pada Hafsha.
Hafsha mengangguk-anggukan kepalanya. Dilihat dari raut wajahnya, dia sepertinya punya firasat lain. Hanya saja, tak mau mengungkapkan lebih.
"San, diem aja?" tanyaku pada Sanjaya yang hanya menjadi pendengar ceritaku dengan Hafsha.
Dia dengan senyum canggungnya menoleh padaku.
"Lagi nyiapin mental ketemu sama Bu Yofi. Tahu kan gimana gugupnya kalau bimbingan sama beliau. Kalian berdua nggak takut?"
Kompak sekali gelengan kepalanya. Aku dan Hafsha sebenarnya hanya mencoba untuk menenangkan diri sendiri, karena membiarkan ketakutan menyerang, akan lebih menakutkan.
"Cukup baca bismillah aja, San. Beres pokoknya," sambungku teramat percaya diri.
"Bismillah, ya. Kebetulan banget, Bu Yofi udah kirim pesan dan menyuruh kita buat langsung masuk ke ruangan," ucap Sanjaya.
Kadang omongan aja yang besar, berlagak tak takut bertemu Bu Yofi. Nyatanya, nyaliku paling ciut. Menatap wajahnya saja sudah mengguncang jiwa.
"Devika, aman untuk bab 2?"