Klender, Jakarta Timur, 14 Mei 1998.
Siang ini pekuburan dipayungi kedukaan yang tak seperti biasanya. Seorang gadis Katolik baru saja dikebumikan, tapi prosesi pemakamannya tidak diiringi doa seorang pastor. Juri kunci bernama Pak Aji memimpin doa sebisanya lantaran dia beragama Islam. Mbak Sri—salah satu anggota lembaga pemerhati perempuan—sudah berusaha mencari seorang pastor, tetapi memang sulit ditemukan. Pasalnya, sejak demo mahasiswa pecah dan disusul kerusuhan serta penjarahan oleh massa membuat keadaan Jakarta dan sekitarnya kian mencekam, sehingga banyak orang pergi meninggalkan rumah masing-masing, terutama para keturunan tionghoa.
Tiga penggali kubur berlalu meninggalkan Pak Aji dan Mbak Sri yang masih berdiri di depan makam gadis itu. Gurat kesedihan tergambar jelas di wajah keduanya. Namun, Pak Aji tampak lebih tegar dibanding Mbak Sri yang sampai meneteskan air mata.
Pak Aji membenarkan letak peci hitam yang dia kenakan. Pria berusia 50 tahun ini mulai bertutur, “Kemarin saat istri saya jaga toko di pasar, ada cewek keturunan tionghoa umurnya sekitar enam belas tahun. Namanya Siska. Dia lari ke dalam pasar dan mengumpet di dalam toko saya. Istri saya enggak mengerti kenapa Siska begitu, tapi dia membiarkan anak itu bersembunyi, dan istri saya bilang sama tiga laki-laki yang mencari Siska bahwa anak itu lari ke arah lain.”
Mbak Sri menyeka air mata. Dia menatap Pak Aji dengan antusias. “Terus bagaimana, Pak?”
“Pas keadaan sudah aman, Siska cerita sama istri saya. Ternyata dia adalah anak pemilik toko elektronik di barisan ruko depan pasar. Rukonya dibobol dan dijarah. Dia hampir diperkosa, makanya dia kabur. Setelah itu mulai ada pembakaran di ruko-ruko depan. Akhirnya istri saya buru-buru menutup toko dan mengajak Siska ke rumah.”
“Terus sekarang Siska bagaimana, Pak?” tanya Mbak Sri masih penasaran. Perempuan berumur 30 tahun ini jadi cemas.
“Kemarin dia kami amankan dulu di rumah sampai sore. Lalu, saya dan anak lelaki saya mengantar dia ke telepon umum di gang depan. Kami jaga dia saat menelepon ke rumahnya, tapi telepon rumahnya enggak bisa dihubungi. Dia enggak tahu nasib adik, ibu, dan ayahnya bagaimana, soalnya cuma dia yang berhasil kabur saat rumah dan tokonya dijarah banyak orang. Kemudian dia menelepon tantenya. Setelah itu, malamnya saya menggunakan mobil anak saya mengantar dia ke bandara Soekarno-Hatta menemui tantenya. Saya enggak tahu mereka ke mana. Mereka cuma bilang mau keluar negeri.” Pak Aji mengusap janggutnya yang sudah memutih. “Saya sedih dan enggak mengerti, kenapa keadaannya jadi rusuh begini, Mbak,” tandasnya kemudian. “Tadi pagi saya melihat berita, banyak ruko dijarah dan dibakar. Kok orang-orang jadi beringas, ya?”
“Saya juga enggak mengerti, Pak,” timpal Mbak Sri. “Dari kemarin saya dan teman-teman di lembaga pemerhati perempuan terus-terusan dapat telepon soal perempuan yang diperkosa, bahkan ada yang dibunuh. Gadis yang barusan kita kuburkan itu salah satu korbannya.” Matanya kembali berkaca-kaca.
“Yang saya sesalkan, kenapa sampai harus ada penjarahan, pemerkosaan, pembunuhan, dan pembakaran.” Pak Aji diam sejenak. “Engak tahu, deh, sekarang bagaimana nasib toko saya di pasar.”