13 Mei 1998.
Wawan menghampiri Bu Aminah yang sedang menonton berita siang di ruang tengah. Dia duduk di tikar di sebelah ibunya itu. Dia ikut menyaksikan apa yang terpampang di layar kaca. “Itu kenapa, Bu, kok orang-orang mengambili barang-barang dari toko? Mereka maling, ya?” tanyanya yang melihat segerombolan laki-laki dewasa menjarah barang-barang elektronik dari sebuah toko.
“Itu kerusuhan di Jakarta Barat. Mereka menjarah toko. Apa saja diambil,” jawab Bu Aminah tanpa menoleh ke Wawan. Perempuan berusia 38 tahun ini begitu serius menonton peristiwa kerusuhan dan penjarahan itu.
“Ngeri ya, Bu. Itu ada toko yang kebakaran juga.” Wawan menunjuk televisi dengan takut.
“Iya, makanya anak sekolah banyak yang diliburkan, takut sekolah juga kena kerusuhan.”
“Oh iya, Bu. Kapan Ibu membelikan aku peci baru yang warna putih? Ibu ‘kan sudah berjanji mau memberi hadiah peci putih pas aku ulang tahun.”
“Iya, besok ibu belikan. Kamu ‘kan ulang tahunnya besok.”
“Oh, ya udah.” Wawan tersenyum senang.
Bu Aminah tampak berpikir. Karena khawatir kerusuhan makin merembet ke Jakarta Timur, dia pun mengubah rencananya. “Atau abis zuhur nanti Ibu ke pasar.”
Wawan tersenyum makin lebar. “Aku ikut ya, Bu.”
“Jangan, kamu di rumah saja sama kakakmu.”
“Ayolah, Bu, pecinya ‘kan mau aku coba dulu, muat atau enggak,” rengek Wawan.
Bu Aminah tak tega melihat anak keduanya itu mengiba. “Ya sudah, nanti kamu ikut.”
“Asyik!” seru Wawan bergembira.