Di sudut kafe itu, tempat pertama kali Bagus memperkenalkan mereka, Aris dan Mutia duduk berhadapan. Aroma kopi yang hangat dan suara percakapan pengunjung lain terasa mengisi ruang, tapi bagi mereka, dunia seakan hanya ada di meja kecil itu. Mutia menggenggam cangkirnya, kedua tangannya melingkari porselen hangat, seolah mencari ketenangan dari benda itu.
“Aku nggak pernah membayangkan akan bekerja di bidang sosial,” kata Mutia pelan, memulai. Suaranya tenang, tapi ada sesuatu di dalamnya yang membuat Aris menajamkan pendengaran. “Dulu aku ingin hidup seperti kebanyakan orang. Punya karier yang stabil, hidup mapan. Tapi, hidup kadang punya rencana lain.”
Aris mengangguk kecil, membiarkan Mutia melanjutkan tanpa memotong. Ada sesuatu dalam ekspresi wajahnya—campuran antara kenangan dan luka—yang membuatnya yakin bahwa cerita ini bukan cerita biasa.
“Ayahku seorang guru. Ibu hanya ibu rumah tangga. Hidup kami sederhana, nggak pernah mewah, tapi selalu terasa cukup. Sampai suatu hari, semuanya berubah.” Mutia menunduk, menatap cangkirnya seolah mencari keberanian di sana. “Ayah meninggal waktu aku masih SMA. Serangan jantung mendadak. Aku bahkan nggak sempat bilang apa-apa.”
Aris menatapnya, matanya melembut. “Aku... nggak tahu harus bilang apa. Aku ikut sedih, Mut.”
Mutia menghela napas panjang. “Aku sempat hancur waktu itu. Ayah adalah pusat segalanya. Kehilangannya membuatku mempertanyakan banyak hal—hidup, keadilan, bahkan rencana-rencana yang dulu aku buat. Tapi, di satu sisi, aku juga belajar sesuatu. Ayah selalu bilang, hidup ini terlalu singkat untuk nggak berarti. Dan sejak dia pergi, kata-kata itu terus membayangi aku.”