Pertunjukan: Kucing Jantan, Amba, atau Aku

Ann Diaaa
Chapter #1

Kucing Kucing Jantan

Andai aku bertemu ‘Jinny’. Ada dua opsi yang aku minta dengan pasti. Satu, memindahkan ‘kucing-kucing jantan’ ke planet paling jauh dalam tata surya. Dua, memasukkan mereka ke panti para ‘kucing jantan’ di sana. Sejauh-jauhnya, dan selama-lamanya.

Barangkali, untuk mereka, aku hanya serupa ikan tuna dalam keranjang. Dengan radius satu setengah kilometer. Mereka akan mencium aroma tubuhku dengan tidak tenang. Berlari-lari, berharap menang. Menjadikan ‘tuna’ sejenisku, sebagai kudapan makan siang. Itu tidak adil bukan? Memang.

“Aya! Di sini…,” Kaluna memanggilku dengan wajah sumringah. Mekar seperti onde-onde ketawa yang baru diangkat dari penggorengan.

Aku hanya mengangguk, sepakat mendekat. Menjauhi ‘kucing-kucing jantan’ di seberang jalan. Sorot mataku membidik satu rumah kerdil di antara banyak gedung yang sama sekali tidak kecil. Rumah Makan Jelita. Logo wordmark itu terlihat semarak dengan perpaduan warna kuning, hijau tosca, dan merah muda. Memesona.

“Maaf ya Lun, tadi masih meeting dengan Bu Sari…,” kataku. “Soe-par-man, bikin ulah lagi. Cetakan yang harusnya dikirim hari ini, jadi mundur sehari,” aku mengeja pelan soe-par-man, memperjelas suspect pelaku yang membuatku pulang terlambat hari ini.

“Aya.., tenang tenang. Lagian cuma mundur sehari, bukan seminggu, apalagi sebulan Aya,” telapak tangannya mengetuk-ngetuk punggung tanganku. “Kapan sih Ya, kamu bisa melihat laki-laki sebagai manusia? MA-NU-SI-A. Bukan kucing atau apalah itu.”

Aku sengaja diam. Aku tidak ingin Kaluna menayangkan episode-episode ‘kucing jantan’ yang katanya ramah dan bersahaja. Baik hati dan bijaksana. Menarik dan memesona. Banyak tambahan kata sifat lainnya yang tidak ingin aku dengar. Lagi pula begitu mudah menambahkan kata di akhir kata bukan?

“Gayatri Shena Paidja…,” ejaan suara tengilnya membuatku bergidik geli. “Nih menunya! Aku mau nyoba spaghetti aglio o lio, sepertinya enak.”

Concorde tebal bertumpuk, dengan ejaan ‘Menu Book’ itu menyita perhatianku. Warnanya masih serumpun dengan suasana ‘jelita’. Mataku merapah sekumpulan model makanan di buku menu itu. Masakan Nusantara memimpin di halaman awal. Dibuntuti dengan masakan cina, dan yang paling terakhir masakan barat. Ini bukan peringkat pada perlombaan apa pun, hanya sebuah tatanan tanpa urutan yang sengaja diciptakan untuk meninggalkan kesan.

“Wait…,” aku menyatakan bahwa aku butuh waktu tambahan. “Nasi goreng seafood dan es teh ya Mbak.”

“Sebentar.., Mbak! Sama susu stroberi yang ice ya, sudah Mbak,” Kaluna menyudahi. Pramusaji mengeja ulang pesanan kami. Tersenyum ramah, berbalik badan menuju ke dapur. Template! Seperti di kebanyakan rumah makan.

“Aya…, aku gak tau ini waktu yang tepat atau bukan,” Kaluna menarik napas dalam-dalam. “Kamu kan sedang benci dengan ‘kucing jantan’.”

Aku coba tebak, akan ada jenis ‘kucing jantan’ lain yang akan Kaluna kenalkan padaku. Kali ini berdasi, kaya raya, namun sedikit tua. Atau seumuran denganku, sedikit naif, tetapi pengertian. Bisa juga yang jenaka dan suka menggoda. Akan ada ribuan kemungkinan lainnya.

“Kucing jantan lain ya?” Aku memasang mimik kehabisan akal.

“Bukan,” jawabnya singkat. Pikirku, ada yang aneh dengan Kaluna hari ini.

“Terus apa Lun? Kamu sedikit aneh,” Aku menepuk pergelangan tangannya. “Begini, aku hanya tidak mau berhubungan lebih, aku tidak ingin berpacaran, apalagi menikah.”

“Aku yang akan menikah Aya,” jawabnya. Senyum simpul dengan cekungan tak seberapa dalam, di pipi kanannya.

“Kaluna menikah? Ya gapapa dong Lun. Aku ikut senang, serius!” Aku berbohong.

Kupaksakan karet bibirku melenggang. Seperti bentuk kapal di sungai Rapang. Sepasukan udara mendorong rongga dada menjadi kembang. Gigi bergerigi mengintip dengan tenang. Tidak, justru sekarang aku cemas bukan kepalang.

Mereka, para ‘kucing jantan’ akan memaksakan pinggang Kaluna tetap ramping. Tidak lagi memakan gula-gula di pasar Krincing. Tidak juga memakan ‘keik’ dan makanan-makanan baking.

Sementara, Kaluna harus menyediakan kudapan sepanjang hari. Pagi, siang, malam, dan saat-saat yang ‘kucing jantan’ inginkan. Jika ‘kucing jantan’ menyantap makanan beserta kudapan sering-sering di luar rumah. Maka kebanyakan orang akan mencibir Kaluna, dengan kalimat: Istri tidak becus masak, makanya suami tidak mau makan di rumah.

Cukup, Gayatri. Bukan kamu yang menikah, ini Luna. Kaluna Andita Prameswari. Siapa tahu, ia akan gembira, ia tidak akan ingat dengan gula-gula dan ‘keik’ banyak rasa. Ia juga akan menjadi koki andal satu-satunya, setidaknya di rumahnya.

Tetapi yang aku tahu, ‘kucing jantan’ akan menjadi ‘macan kumbang jantan’ setelah menikah. Banyak keributan sepanjang petang. Segala perabot melayang-layang. Jika gelap sudah menghilang. Lebam dan corak biru abu akan terlihat matang terpanggang.

“Aya…,” Kaluna menatapku. Kali ini bibirnya berpose mirip anak-anak yang meracau minta popcorn.

“Apa Lun? Ciee, akhirnya Kaluna menikah! Semoga semuanya berjalan lancar ya,” Aku mencoba menjadi penjual popcorn keliling yang ceria. Dengan begitu, aku bisa menyembunyikan letupan-letupan rasa cemas di balik tutup panci dengan segera.

“Aku…, ingin kamu juga menikah. Tidak semua laki-laki seperti Bapak Hari.”

“Sejauh ini, aku masih menemukan ‘kucing-kucing jantan' sialan Lun,” persetan. Nama itu membuatku ingin memuntahkan segala pesakitan. Aku membiarkan letupan emosiku berserakan di udara.

“Aya, ada ‘kucing jantan hitam’ dan ada ‘kucing jantan putih’. Tuhan sengaja menciptakan keduanya dengan seimbang Aya.”

“Banyak hitamnya,” singkat. Aku muak.

“Aya, oke…, Maaf ya,” seperti biasa, ia tersenyum, matanya berkedip-kedip. Aku tahu, ini termasuk dalam kode-kode andalannya.

Lihat selengkapnya