Pertunjukan: Kucing Jantan, Amba, atau Aku

Ann Diaaa
Chapter #2

Kedelai Busuk Yang Menawan

Aku sudah bangun sebelum matahari menemui bunga-bunga. Ibuku, tentu saja bangun lebih pagi dariku. Biasanya jam tiga pagi. Membuat pola busana, atau memecuti mesin jahit Singer tua miliknya. Jika sudah jam lima pagi, ibu akan berjalan ke dapur. Memasak nasi, dan lauk pauk, untuk sarapan kami berdua. Ya, aku dan ibu.

Aku menemui Tuhanku, sebelum memeluk ibuku satu-satunya. Aku sering membantunya memasak di dapur. Hanya sebagai helper, mengupas bawang, mengiris cabai, menggoreng lauk. Itu saja. Mencuci piring, menyapu rumah, membersihkan taman, tentu saja, itu pekerjaan utamaku saat di rumah. Selain menyayangi ibu.

Dari jendela, aku melihat terompah berisi nasi aking yang sudah terparkir di teras. Sebentar lagi, sepasukan burung gereja akan datang bergantian. Mengelilingi terompah ibu. Ini adalah rutinitas sarapan mereka yang ria.

Dari ruang tengah, aku melihat tumpukan busana berwarna cokelat. Bahannya seperti satin, atau maxmara. “Ibu, ini untuk bridesmaid Mbak Dinda, gang sebelah ya?” Sembari mengintip model jahitan baju itu, aku meneriaki ibu yang masih di ruang jahit.

Mengapa banyak perempuan mudah sekali memutuskan untuk menikah. Sedangkan aku, aku menepis segala hal yang berhubungan dengan pernikahan. Bukan, maksudku yang berhubungan dengan ‘kucing jantan’. 

“Iya Nak, anaknya Bu Joko,” jawab ibu, masih dari ruang jahit. 

Aku menuju dapur, ada tempe hanya satu balok. Warnanya sudah ke-abu-abuan. Ada bercak-bercak hitam. “Ibu, ini tempenya busuk. Mau dibuang saja?” Tanyaku, sedikit teriak.

“Jangan Nak. Ning Aya bantu Ibu kupas bawang merah dan bawang putih saja.” Ibu menyingkap gorden, lantas mendekat.

“Mau dimasak jadi lento tempe dan sayur asem, enak tho?” Belum sempat aku menjawab. Ibu sudah meracau, lagi. “Kemarin kok pulang malam Nak? Sama Mbak Luna makan dimana?”

Ibu selalu ingin tahu segala hal. “Makan di rumah makan baru, setengah kilometer dari kantor Bu. Luna mau menikah. Mudah sekali bilang ‘mau’ saat diajak menikah, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi setelah menikah.”

“Memangnya, Ning Aya mikir apa?” Mirip polisi yang sedang interogasi kasus-kasus suap jabatan oleh perangkat desa. 

“Iya, masih sama Ibu. Ibu kan tau gimana Aya,” aku menggerutu lepas.

“Maafkan bapak Nak,” telapak tangannya menyentuh rambut singaku. Mengusap beberapa kali dengan gerakan statis. Sementara, diam-diam, matanya basah. 

“Nak, potong tempenya ya! Mau Ibu kukus di dandang,” tanpa bertanya, aku potong-potong menjadi delapan potongan sedang. Mengukusnya di dandang, seperti instruksi ibu.

“Ning Aya. Ibu dulu pernah cerita kan? Kalau Ibu sempat bekerja di pabrik keripik tempe. Dari masih menjadi kedelai, sampai jadi tempe, terus jadi tempe busuk, Ibu tau semua,” ibu menjelaskan. Aku tahu, ini adalah perkara membelokkan topik pembicaraan.

“Ibu, kangen bekerja lagi ya?” Tanyaku singkat.

“Ah tidak. Ibu lebih suka menjahit. Ibu cuma mau cerita saja Nak,” ibu menyalakan tungku, membiarkannya diduduki pantat dandang. “Membuat tempe prosesnya panjang, harus bersih, kalau tidak bersih nanti tempenya cepat busuk. Saat inokulasi, penambahan ragi, jamur Rhizopus akan berkembang.”

Lihat selengkapnya