Kepulan asap hitam masih membumbung tinggi dari mobil dan ban bekas yang sengaja dibakar masa. Pecahan kaca dan batu sisa dari kerusakan gedung dan pertokoan berserakan di jalanan beraspal. Pagar betis masih berdiri kokoh menutupi beberapa sisi ruas jalan ibu kota.
Suasana semakin mencekam ketika para aparat bersenjata lengkap berjalan memantau kondisi. Aryo yang kebingungan mendapati dirinya berada di tengah-tengah konflik tragedi 1998. Banyak orang terluka akibat dari peristiwa ini. Beberapa warga juga terlihat berlarian membawa barang-barang elektronik hasil jarahan.
Kening Aryo semakin mengkerut memperhatikan banyak sekelompok warga berduyun-duyun menjarah beberapa toko, sama persis seperti video materi kuliahnya tadi.
Ketika ia hendak melangkah, tiba-tiba saja ia tersedot oleh suatu pusaran yang begitu kuat. Dalam sekejap Aryo sudah berada di suatu tempat yang tampak tidak begitu asing baginya, lokasi dimana lebih dari 400 orang mati terbakar. Ya, Aryo kini berada di Mal Klender atu sekarang lebih terkenal dengan City Plaza Klender, Jakarta Timur.
“Mengapa gue di sini?” tanya Aryo bingung.
Asap sisa kebakaran masih terlihat, bahkan bau daging terbakar begitu menyengat sebagai salam penyambutannya.
Aryo mengibas-ngibaskan kedua tangannya karena asap itu mengganggu penglihatan. Gedung besar itu tampak hitam terbakar. Perlahan Aryo berjalan mendekati gedung itu. Samar-samar ia mendengar suara wanita menangis. Tepat di depan loby gedung mal tersebut, seorang wanita terduduk dan terdengar menangis merintih kesakitan meminta tolong, rintihannya terdengar menyayat hati. Perlahan Aryo mendekati wanita itu, penasaran, lalu menepuk pelan pundak wanita itu.
Tiba-tiba tanpa diduga wanita itu menoleh dengan cepat. Aryo menjerit keras ketakutan seakan suaranya hanya tersisa untuk hari ini saja. Wajah wanita itu hangus terbakar dan rupanya bau daging terbakar itu bersumber dari wanita tersebut.
“Panas! Tolong saya! Panas!”
Aryo melangkah mundur menjauhi sosok wanita hangus terbakar itu, ia menggeleng kuat ketakutan, jantungnya berdebar tak karuan karena sosok wanita bermuka hangus itu terus mendekatinya.
“Jangan pergi! Tolong saya! Tolong saya!”
“Tidak! Jangan mendekat!” Semakin Aryo melangkah mundur, sosok itu semakin mendekatinya. Aryo melangkah mundur.
"Kau harus menolongku! Kau harus menemukan anakku!” pekik sosok wanita berwajah hangus itu.
Kedua mata Aryo membelalak ketika melihat sosok itu yang tiba-tiba saja terpecah menjadi asap lalu menghilang dengan cepat. Aryo kaget dan ketakutan.
“Apa gue sedang bermimpi? Kenapa gue berada di tempat ini?” Aryo menampar wajahnya berharap yang ia alami saat ini hanyalah mimpi atau halusinasinya saja. Ia meringis sakit tanda dia sedang tidak bermimpi.
“Kau tidak bermimpi, Aryo. Kau memang sudah ditakdirkan untuk membantuku. Hahaha.”
Aryo mengedarkan pandangan ke segala penjuru bangunan ini untuk mencari dimana sosok wanita berwajah hangus itu berada. Suara tawa dari arwah penasaran itu terdengar memekikkan telinga. Aryo tidak mengerti, apa maksudnya dia ditakdirkan untuk membantunya?
Aryo melangkah mundur, memfokuskan kedua mata dan mengawasi sekitarnya. Tanpa sengaja ia seperti menginjak ranting pohon kering, begitu ia menengok ke bawah ternyata bukan ranting pohon kering yang ia injak, melainkan tangan dari bangkai manusia.
Aryo berteriak histeris dan sangat terkejut setengah mati, kedua matanya terbelalak lebar dan nyaris keluar dari kelopaknya.
"Tolong! Siapapun yang ada di sini tolongin gue!" Aryo berteriak meminta tolong. Sayang, sekeras apapun ia berteriak tak ada satupun yang menolongnya. Lalu sosok wanita berwajah hangus itu muncul kembali.
“Tolong bantu aku! Temukan anakku yang hilang. Aku tidak akan bisa tenang sebelum anakku ditemukan!” pinta sosok itu dengan nada parau, seolah menggambarkan perasaan kehilangan yang begitu sangat menderita.
***