Pesan Dari Ibu

Rizki Pratama Ningrum
Chapter #1

Pengantar

Bulan Mei di tahun 1998, saya lahir. Tapi, di bulan Mei tahun 1998 juga mama mati.

“Mama meninggal karena pendarahan yang hebat akibat aksi anarki yang terjadi di Jakarta.”

“Beliau jadi korban dari para mahasiswa yang turun ke jalan. Nyaris jadi sasaran pribumi yang kontra dengan Tionghoa juga.”

“Saat itu mama tahu kalau pemuda… bapak dari anak yang ada dalam kandungannya sedang dalam keadaan genting. Maka mama sengaja pergi untuk mencari pemuda itu, berharap bisa menghalau keinginan pemuda itu yang hendak turun untuk ikut berdemo dengan yang lainnya.”

“Hari itu juga, Akong[1] dan Amah[2] tahu jika mama hanya berdiam di rumah kosnya yang ada di Glodok karena berita yang beredar mengenai aksi turun ke jalan atas tuntutan pelengseran kekuasaan pemimpin negara saat itu merebak.”

“Akong dan Amah nggak tahu kalau anak tunggal mereka saat itu justru pergi dari rumah kosnya. Dengan keadaan yang tengah mengandung, yang ternyata juga nggak diketahui oleh Akong dan Amah. Kehamilan yang mama tutup-tutupi karena takut dihakimi.”

Kaivan menghela nafasnya, memberi jeda seraya ekor matanya bergerak untuk melirik pria paruh baya yang duduk berseberangan dengannya.

“Kenapa waktu itu bapak nggak cari mama?” tanya Kaivan ragu, tapi tak bisa menahan dirinya yang penasaran.

Tertangkap oleh ekor matanya gelisah dari dua manik pria paruh baya itu. Kaivan tersenyum ketir karenanya, “nggak apa tho jika saya panggil sampean[3] bapak?” tanya Kaivan dengan tenang.

Berbeda dengan degup jantungnya yang mulai berdebar. Dipicu oleh rasa kecewanya yang meluap saat kedua matanya bertemu langsung dengan pria paruh baya yang tak lain dan bukan adalah ayah kandungnya, orang yang selama dua dekade ke belakang selalu membuatnya merasa penasaran serta kecewa juga atas masa lalu kelam yang menyebabkan hilangnya nyawa sang ibu.

“Apa saya harus mempercayai ucapanmu barusan?”

Kaivan menggeleng atas pertanyaan tersebut, “sampean nggak harus percaya. Tapi, sampean harus tahu jika mama saya adalah seorang pahlawan.”

“Iya, bagi kamu anak yang telah dilahirkan ke dunia olehnya.”

Lantas kalimat yang diujarkan oleh bapak itu membuat emosi Kaivan tersulut. Respon yang sama sekali tak ingin Kaivan dengar, tapi dengan begitu dia paham jika sifat congkak seorang Sigit Barry Husodo benar adanya. Bukan hanya bentuk provokasi dari kakek dan neneknya saja.   

“Bukan hanya bagi saya, bagi kamu seorang pecundang sepertimu,” sahut Kaivan dengan menyelipkan dendam dalam intonasinya itu.

Lihat selengkapnya