Diani Arsa Basudjiwa atau lebih kerap disapa Arsa terkesima dengan seluruh penjuru bangunan rumah yang ada di hadapannya itu.
Arsa jatuh cinta pada nuansa putih serta kesan kuno yang disajikan. Pepohonan yang berdiri beraturan seolah menjadi pelengkap untuk suasana damai dan bersih disana.
Sejuknya hawa di Kota Batu, Malang menambah kesan betah dan tak rasanya ingin berlama-lama disana. Tapi tidak dengan Nalindra Harpa Basudjiwa, adik laki-lakinya yang dikenal banyak orang dengan nama Djiwa.
Tampaknya pindah ke rumah milik mendiang neneknya itu bukanlah hal yang menyenangkan untuk Djiwa si gen z yang merasa lebih pantas tinggal di perkotaan itu.
"Kita bakal tinggal disini, Kak?" tanya Djiwa ragu pada kakak perempuannya itu.
"Iya," sahut Arsa seadanya.
"Rumahnya nggak kayak rumah ayah di Jakarta. Fasilitasnya juga kayaknya nggak kayak disana. Kakak yakin mau tinggal disini? Apa nggak tinggal di apartemen aja, Kak? Kan tadi ada yang sewanya cuma berapa juta, cukup ‘kan uangnya?"
Masih terus berusaha bernegosiasi dengan kakak perempuanya itu, Djiwa seolah ingin mereka tak menetap lama di rumah itu. Mungkin beberapa hari saja. Lalu mencari rumah tinggal yang lebih modern dan lengkap fasilitasnya.
Terdengar helaan nafas halus dari Arsa, "Kalau tinggal disini kita nggak perlu mikirin uang sewa rumah. Cuma bayar listrik sama air. Jadi kan bisa ditabung juga uangnya," jelas Arsa kemudian.
Djiwa berdeham sejenak, "iya sih bisa ditabung. Tapi ini rumah kayak lawas banget, Kak. Seram nggak sih?" tanyanya dengan satu alis yang terangkat sembari masih menatap penuh selidik ke arah rumah putih di hadapannya itu.
"Lebih seram lagi kalau tinggal bareng keluarganya ayah,” jawab Arsa cepat.
“Iya sih, tapi ‘kan-“
“Kamu takut hantu ya? Tuh, ada di belakang kamu Mba Cantik.”
"KAK!"
Arsa hanya tertawa kecil saat menemukan adanya kepanikan di wajah sang adik atas ucapannya barusan. Djiwa sampai melotot, memperingati sang kakak dari tatapannya itu untuk tidak bercanda dengan hal-hal yang berbau mistis. Apalagi sampai bawa-bawa hantu di tempat baru.
“Aku tahu Kakak bisa lihat gitu-gituan. Tapi please lah, nggak usah di spill,” gusar Djiwa seraya membawa langkahnya mendekati sang kakak. Mereka jadi hanya berjarak dua langkah saja dengan Djiwa yang berdiri persis di sebelah kiri Arsa.
Djiwa itu betulan takut dengan hal-hal yang berbau hantu dan juga mistis. Makanya kepalang panik dan juga mulai gelisah akan keberadaan mereka disana, di perkarangan rumah kosong yang sudah hampir dua puluh tahun tidak dihuni.
“Logikanya rumah kosong yang lama tidak dihuni kalau bukan jadi basecamp jamet liar… ya jadi hunian arwah penasaran,” pikir Djiwa.
Rumah bergaya Kolonial serba putih itu adalah rumah peninggalan Mama Eyang atau nenek dari mendiang ibu mereka. Rumah itulah yang akan menjadi rumah tinggal Arsa dan juga Djiwa ke depannya. Setidaknya sampai nanti Arsa sudah siap secara finansial dan mental untuk pindah dari sana ke rumah tinggal yang lebih bagus lagi seperti keinginan Djiwa tadi.
"Nggak kok. Disini pemukiman biasa kata Pak Bagio. Cuma memang sepi karena yang tinggal disini rata-rata sudah pada merantau ke kota lain," jelas Arsa berusaha sedikit menenangkan adiknya itu.
“Serius, ada hantu nggak?” tanya Djiwa sekali lagi.