“Ma, Kai datang. Tapi, hari ini nggak sama Akong sama Amah. Orangnya lagi ke tukang pijat.”
Intro yang agaknya memang kurang enak di dengar. Apalagi kalau diujarkan di depan sebuah batu nisan berbahan marmer yang telah terukir nama, “Wang Mei Lian.”
Tubuh jangkung yang berbalut pakaian rapih serba hitam dengan topi berlogo brand polo lengkap dengan sandal jepit swallow hijau tua itu duduk bersila begitu saja di atas tanah, sisi kosong batu nisan mamanya berada.
Pagi ini di hari sabtu, sama seperti biasanya Kaivan bakal berkunjung ke makam mendiang mamanya.
“Emang umur-umur se Akong tuh lagi lucu-lucunya, Ma. Lagian, masih pagi sudah repot sendiri mau ganti lampu kamar mandi. Dibilang tunggu sebentar biar Kai bantuin, malah ngeyel dan gotong tangga sendiri.”
“Ya sudah, keseleo lah orangnya karena kakinya sudah tua.”
Gumaman yang terdengar seperti menggerutu itu bersahut-sahutan bersamaan dengan angin yang bertiup di siang hari yang cerah, sedikit terik dan sedikit terasa sejuk.
Kaivan pelakunya, siapa lagi memang “Cah Gemblung” ungkapan penjaga salah satu TPU di Kota Batu yang kerap mendapati pemuda tampan, rupawan, tinggi, gagah bicara sendiri di depan pusara mendiang mamanya itu.
“Pancen gemblung, ganteng tapi senengane ngomong mbek watu,” * (Emang gila, ganteng-ganteng ngomongnya sama batu).
Sudah jadi langganan, apabila Kaivan dengan kakek dan neneknya atau Kaivan sendirian kesana pasti bakal mengoceh tanpa kenal waktu di hadapan batu nisan berbahan marmer berwarna hitam mengkilap, tempat mamanya bersemayam.
“Ma… ada tetangga baru. Yang perempuan kayaknya seumuran sama Kai. Rambutnya sebahu, kulitnya kuning langsat, matanya agak sipit. Suaranya lembut banget, Ma. Tadi saya nggak sengaja dengar sewaktu keluar dari rumah.”
“Rumah kita ya, Ma. Bukan Rumah Uya.”