“Djiwa disini ya, Kak.”
Arsa mengangguk, mengiyakan keputusan adiknya yang memilih kamar utama sekaligus kamar yang paling besar di rumah itu untuk ditempatinya.
Kamar itu dulunya dipakai mama eyang dan papa eyang. Kamar yang memiliki fasilitas paling lengkap dan juga kondisi yang masih sangat baik. Terlebih bagaimana jendela kaca berukuran 3,5 meter kali 2 meter, yang terpatri rapi dan berhadapan langsung ke ranjang.
Pemandangan di luar sana sebenarnya bukan menyajikan view pegunungan, persawahan ataupun lautan yang biasanya menjadi tolak ukur suatu penyegar mata. Hanya bangunan dari rumah-rumah warga yang di sisinya ada tumbuh pohon berbuah yang daunya cukup lebat. Sehingga masih ada kesan hijau yang berbalut kabut apabila pagi buta datang.
“Spreinya Djiwa ganti ya, Kak? Sayang kalau warna putih, pasti cepet kotor,” ujar Djiwa sebelum menjatuhkan bobot tubuhnya di pinggir ranjang.
“Kakak ada bawa sprei. Di koper yang paling besar. Kamu ambil aja nanti,” sahut Arsa.
Tampaknya berada dalam kamar utama di rumah itu memang mengantarkan banyak ketenangan.
Enggan beranjak dari sana, ingin rasanya Arsa agak lebih lama. Mungkin untuk sekedar tidur siang atau leyeh-leyeh sebentar. Akan tetapi, ketika kedua matanya mendapati jarum jam yang semakin dekat dengan waktu makan siang maka dia urungkan niatannya itu.
“Kamu mau makan siang apa?” tanya Arsa sembari tubuh langsingnya bergerak meninggalkan ranjang.
“Gofood boleh?”
“Boleh. Mau apa?”