“Djiwa… please. Ini bakal jadi jalan terbaik buat kamu sama aku.”
“Ya tapi apa kita harus putus?”
“Kita nggak bisa sama-sama lagi. Aku di Jakarta, kamu di Malang. Aku nggak mau LDR.”
“Aku bisa samperin kamu satu bulan sekali.”
“Nggak mau, aku maunya setiap hari!”
Djiwa menghela nafasnya, “susah lah gila! Duit jajan aja di potong 70% dari biasanya,” batinnya agak muak dengan nasib buruk yang kini tengah berpihak padanya.
“Kamu pikirin lagi ya? Jangan putus lah, Sayang. Masa kita putus cuma karena sekarang aku pindah ke Malang,” bujuk Djiwa sekali lagi.
“Nggak bisa, Djiwa. Maaf ya, kita harus udahan.”
“Rania Sayang… aku-“
Tut… tut…
“Lha?”
Djiwa berjengit begitu mendengar nada sambungan terputus begitu saja. Di akhirinya secara sepihak percakapan yang agak kurang menyenangkan itu, membuat Djiwa lagi-lagi hanya bisa menghela nafasnya.
Tak bisa cuma diam dan menunggu, maka Djiwa kembali menghubungi kekasihnya Rania.
“Ya kali putus gara-gara sekarang gue di Malang.”
“What the fuck!”
“Nomor gue di blokir nih? Tsk!”
“Ya Tuhan, gini amat sih jadi orang susah.”
Sementara Arsa yang sudah lima menit berdiri di depan pintu kamar adik laki-lakinya itu hanya bisa menghela nafasnya lirih.
Raut wajahnya masih sama, tak menunjukkan reaksi berlebihan. Apalagi karena kalimat terakhir yang Djiwa ucapkan.