Tok… tok…
Ketukan di pintu masih terus terdengar, seolah-olah meminta Arsa untuk segera sampai dan membukanya.
Lagi-lagi Arsa harus mendengar derit memilukan dari pintu utama rumah mendiang neneknya itu, engselnya betul-betul harus segera diganti.
“Kulo nuwun…”
“Emm? I.. ya?” sahut Arsa yang heran dengan keberadaan pemuda jangkung berpakaian rapih serba hitam sudah berdiri di depan pintu rumahnya.
“Sejak kapan abang gofood ganti seragam jadi kayak seragam Paspampres gini?” batin Arsa heran sembari curi perhatian ke pemuda itu.
“Mba, saya tetangga di depan rumah. Kayaknya mba salah masukin alamat, soalnya ada ayam goreng nyasar ke rumah saya.”
“Oh? Iya kah, Mas?”
“He’em. Nomor 28 itu nomor rumah saya, kalau rumah Mba nomor 28 A,” jelas si pemuda jangkung berpakaian hitam-hitam itu.
Arsa lantas tersenyum malu, tangan kanannya bergerak menggaruk tengkuk belakangnya yang sebenarnya tidak gatal. Hanya pengalihan rasa malu atas keteledorannya yang salah mencantumkan nomer rumah.
“Maaf ya, Mas,” cicit Arsa malu-malu.
“Nggak apa-apa dong. Nih ayam mbanya,”
Bersentuhanlah tangan kanan Arsa dengan tangan kanan pemuda itu ketika plastik yang berisikan pesanan ayam goreng berpindah padanya.
“Makasih, Mas…” ujar Arsa lagi, masih dengan malu-malu.
Entah apa yang ada dalam benak Arsa, hingga berpandangan saja dengan pemuda yang berpakaian serba hitam itu membuatnya jadi salah tingkah.
“Ganteng sih, Masnya. Lucu juga.”
“Suka sama style Masnya, biarpun kayak Paspampres.”
“Tapi ini tatonya banyak banget sampai ke leher-leher.”
“Masnya ini apa anak punk ya?”
“Saya bukan punk, Mba. Nama saya Kaivan.”
Berisik sekali isi kepala Arsa sampai-sampai dia tak sadar kalimat terakhirnya tadi bukan sebatas terucap dalam hati saja.
“Oh? Saya bilang Masnya anak punk kah?” ulang Arsa sekali lagi, meyakinkan dirinya atas apa yang Kaivan katakan barusan.