Malam harinya ditemani temaram cahaya bulan dan tabur bintang, tampak Jan berdiri di halaman depan rumah yang kini dihuni sepasang kakak beradik, Arsa dan Djiwa.
Seperti tengah menunggu datangnya seseorang, Jan sama sekali tak menggeser posisinya. Tak menghiraukan lalu lalangnya mahluk-mahluk lain yang berusaha memasuki area rumah putih tersebut, hanya dengan menunjukkan tatap dinginnya Jan berhasil menghadang “mereka”.
“Kamu sedang menunggu siapa, Nyo[1]?”
Suara samar-samar itu terdengar dari seberang, berbarengan dengan munculnya sosok perempuan muda yang mengenakan kebaya berwarna putih serta jarik kain batik cokelat tua lengkap denga sanggul di kepalanya.
Jan pun tersenyum samar, kepalanya menunduk beberapa detik sebelum akhirnya berjalan menyeberang untuk menghampiri keberadaan sosok perempuan muda berkebaya putih itu.
“Kamu Nik[2],” sahut Jan.
“Aku baru menemani Kai, dia hari ini begadang lagi.”
“Masih hidup saja suka begadang. Apalagi nanti kalau sudah mati,” cibir Jan yang paham atas satu dari banyaknya kebiasaan buruk yang kerap Kaivan lakukan.
Tubuh gagahnya kini sudah berdiri di sebelah sosok HANTU perempuan muda berkebaya putih, yang memang sudah di tunggunya sejak tadi.
“Kalau sudah mati bisa tidur sesuka hati karena ndak merasakan kantuk lagi,” timpal Meillissa disertai gerakan sikunya yang menyenggol lengan kanan Jan.
Tak ingin membahas tentang tidur dan orang yang sudah mati, Jan to the point atas apa yang hendak dia tanyakan pada Meilissa saat itu.
“Nonik…”
“Dalem?”
“Nonik apa sudah tahu jika rumah itu sekarang sudah dihuni manusia?” tanya Jan.
Nonik, panggilan akrab yang kerap Jan serukan pada Wang Mei Lian atau Meilissa Wang atau mendiang mamanya Kaivan. Mereka menjadi dekat seperti kakak beradik beda kandung yang dipertemukan secara tak sengaja karena keterpurukkan Meilissa ketika hendak dibawa ke rumah duka, dua dekade yang lalu.