“Nyo…”
Mendengar suara halus memanggilnya dari gelapnya pagi buta itu membuat Jan yang tengah terduduk di atas kursi kayu teras rumah putih berdiri. Sejuk dari udara serta basahan embun tipis mengenainya. Suara-suara pengajian sebelum adzan subuh berkumandang sedikit meramaikan sepinya hari yang belum di mulai.
“Apa yang membuatmu menangis, Nik?” tanya Jan seraya menyambut kedatangan Meilissa di rumah putih itu.
Penghuni yang sebenarnya masih terlelap, tak masalah jika Jan membiarkan tamunya itu singgah beberapa waktu.
“Kemari, Nik. Berceritalah,” sambut Jan dengan begitu hangat, meski tak sama sekali mengubah raut wajah tak berekspresinya.
“Terima kasih, Nyo. Aku bakal membaik, ndak perlu risau,” sahut Meilissa, tersenyum memaksa seraya tangan kanannya menghapus jejak air mata yang sempat tertangkap oleh Jan tadi.
Memang hantu bisa menangis, ya?
“Apa ada hal buruk yang terjadi pada orangtua atau putramu, Nik?” tanya Jan lagi.
Kali ini terselip perasaan cemas. Meski samar, itu bisa dengan mudah terbaca oleh Meilissa yang terlihat menyunggingkan seulas senyum di wajah pucat mulusnya itu.
Tanpa sukar menebak, Jan paham betul jika sesuatu yang tidak baik barusan menimpa Meilissa atau sosok “Hantu Kebaya Putih” yang sesekali menampakkan dirinya saat bahaya tengah mengintai kediaman Keluarga Wang. Rumah yang ditempati oleh orangtua serta putra semata wayangnya Wang Jie Rui, yang lebih kalian kenal dengan nama Abimanyu Kaivan.
“Ini tentang Kai, Nyo.”
Seperti sudah khatam, bahwasannya perempuan muda berkebaya di depannya itu tidak akan bersedih bahkan sampai menangis jika hal itu tidak berkaitan dengan Kaivan.
Jan tak banyak mengeluarkan suara, dia lantas menggerakkan tangan kanannya seperti gerakan yang mempersilahkan Meilissa untuk menyambangi teras depan kediaman yang Arsa dan Djiwa tempati sekarang.
“Tadi malam aku kembali ke kamarnya. Aku dengar dia berbicara dengan angin-angin sembari membaca lagi buku harianku. Dia terlihat begitu penasaran dengan beberapa halaman yang hilang di buku harianku.”
“Tentang kecintaanmu yang di tolak oleh kedua orangtuamu kah, Nik?” tanya Jan dengan hati-hati.
Hanya ingin menjaga perasaan Meilissa, barangkali mengungkit kembali salah satu orang yang pernah Meilissa cintai dengan begitu besar membuatnya bersedih.
Meilissa hanya mengangguk, “Mas Sigit,” katanya lirih.
“Banyak kesalah pahaman yang Kai tahu tentang bapaknya itu karena ditutupi oleh Mama dan Papa,” tambahnya.
Tubuh ramping dalam balut kebaya putih itu kemudian mendekati Jan. Duduklah dia di kursi kayu kosong yang berjarak satu meja kayu kotak dengan tempat Jan berdiri.
“Sampai hari ini aku ndak tahu bagaimana cara untuk menyampaikan pada Kai bahwa bapaknya pernah berjuang untuk menikahiku. Tapi, Akong dan Amahnya menolak. Lalu, memperlakukan bapaknya seperti bukan manusia.”
Jan tampak menyimak, mendengarkan tanpa memotong.