“Mau kemana, Nik?”
“Nyusul anakku jogging. Kamu mau ikut, Nyo?”
Jan menggelengkan kepalanya. Rasanya enggan beranjak tempatnya berada saat ini. Apalagi jika harus pergi jauh-jauh dari rumah putih.
Suasana yang awalnya tenang dan damai disana menjadi agak berwarna sekarang. Adanya kegiatan manusia di dalam rumah putih itu membuat Jan merasa seperti de javu. Seolah-olah dirinya di tarik kembali dalam masa hidupnya yang telah berakhir berapa ratus tahun lalu.
“Ya sudah, aku olahraga dulu ya.”
Jan tersenyum tipis, disertai anggukkan kepalanya.
Tentu Jan merasa masih ragu atas ceria yang terbit di wajah yang sempat sendu pagi buta tadi. Meski demikian, Meilissa memang tak pernah lama larut dalam sedihnya.
Ajaibnya lagi, Meilissa pernah mengaku padanya jika sampai detik ini mengapa arwahnya masih berada di ambang dunia bukanlah karena adanya dendam dengan manusia atas kesalahan fatal yang pernah dibuat mereka hingga nyawanya yang dijadikan alat tebusnya. Tapi, ada satu pesan yang hendak disampaikannya pada Kaivan.
Tentang kebenaran yang masih disembunyikan.
“Meener nggak ikut sama Ibu Mei?”
Jan terlonjak kaget begitu suara Arsa menyapa pendengarannya.
Kepalanya lantas menoleh dengan cepat, kedua matanya memicing menatapi Arsa tidak suka.
“Kamu sedang apa disini?” pertanyaan retoris itu terucap dari mulut Jan.
Jelas-jelas rumah putih itu kini dihuni oleh Arsa juga. Lantas, mengapa masih mempertanyakan apa hal yang dilakukan perempuan itu disana. Hmm.
“Mau jemur pakaian,” jawab Arsa disertai cengiran.
“Oh…”
Sebuah jawab yang menyebalkan sebenarnya.
Tak ingin ambil pusing, Arsa yang saat itu sudah menggendong sebuah ember besar dengan kedua tangannya hanya memberi isyarat pada Jan dengan menggerakkan kepalanya. Seakan tengah memberi instruksi agar tak menghalangi jalannya yang hendak menyambangi jemuran di halaman depan rumah putih itu.
“Apa?” tanya Jan yang kelihatan bingung.
“Geser, jangan berdiri di situ.”
“Kamu bisa tabrak saya.”
Arsa menggeleng, tak mengiyakan ucapan Jan barusann.
“Ayo geser, Meener,” pintanya sekali lagi.
Terdengar Jan berdecak. Akan tetapi, menuruti juga ucapan Arsa dengan menggeser tubuhnya agar tak menghalangi jalan keluar dari rumah putih itu.
“Dank u wel,” kata Arsa diselingi senyum ramahnya.
Tak menyahuti ucapan terima kasih itu, Jan hanya berdeham singkat.
Cuek mungkin adalah peringkat paling atas apabila itu berkaitan dengan deskripsi dari mahluk halus yang satu ini. Si sosok Hantu Belanda yang sejak masih menjadi manusia, sampai jadi hantu beratus-ratus tahun lamanya sama sekali tak bisa menunjukkan keramah-tamahannya.
“Meener masih punya hutang cerita sama saya.”
Pernyataan dari Arsa barusan membuat Jan mendengus.
Rupanya gadis keras kepala bagi Jan itu masih ingat perihal hari kemarin.
Dengan kedua mata yang menatap sengit ke arah Arsa, Jan yang berdiri di tempatnya itu kemudian secara sadar atau tidak membawa langkahnya mendekat pada Arsa.