Buku Harian Ibu Wang
Minggu, 20 Agustus 1995
“Ini… pakai untuk hapus jejak ingusmu.”
Kalimat itu sempat memenuhi isi kepalaku beberapa waktu lamanya.
Setelah aku kedapatan tidak ikut upacara dan memilih sembunyi di belakang gedung perkuliahan, bersama beberapa mahasiswa FISIP lainnya, yang aku juga tak kenal mereka siapa.
“Halaman ini gemesin sih,” cengir Kaivan yang sejak beberapa jam belakangan menghabiskan waktunya untuk duduk sendirian di kursi taman sembari melanjutkan membaca buku harian milik mendiang mamanya.
Alih-alih melanjutkan kegiatan joggingnya tadi, Kaivan justru lebih tertari untuk berdiam diri sejenak di taman yang masih sepi itu.
“Padahal ini weekend, sudah ada matahari juga. Masih sepi aja,” batinnya.
Tak terlalu memikirkan sepinya taman di hari minggu pagi itu, Kaivan kembali larut dalam tiap lembaran buku harian milik mendiang mamanya.
Sesekali terdengar kekehan geli, tak jarang juga Kaivan berdecak. Seperti larut sangat dalam di tiap untaian kalimat yang mendiang mamanya rangkai disana.
“Penasaran sama sapu tangannya deh. ‘Kan disini mama tulis kalau sapu tangan itu jadi benda pertama pemberian ‘Mas’ benda yang paling punya kesan,” gumam Kaivan, terdengar seperti mengomentari bagian dari isi di halaman itu.
“Sapu tangan itu masih mama simpan, Kai. Ada di dalam peti kayu di dalam kamar mama.”
Meilissa yang sejak tadi duduk di sebelah Kaivan itu akhirnya bersuara. Wajah pucatnya tampak berseri-seri karena kembali bisa berada dalam jarak yang begitu dekat dengan putranya.
Dipandanginya wajah yang banyak mewarisi bentuk wajahnya itu dengan tatap teduh. Rasa hatinya begitu damai. Perasaan yang didambakan oleh Meilissa sejak hari kematiannya yang sama sekali tak disadarinya karena saat itu.