“Kau hendak memasak apa hari ini, Perempuan?”
Di sudut lain kembali terlihat Jan dan Arsa terlibat dalam sebuah percakapan. Keduanya tampak semakin akrab, tidak ada lagi kesan sungkan di antara mereka. Padahal, belum ada 24 jam Jan dan juga Arsa saling berkenalan secara tidak formal.
“Kayaknya masak sayur bayam, jagung pipil dan goreng ikan bandeng, Meener.”
“Ikan bandeng? Apa itu?”
Terdengar asing untuk Jan, dia sampai mengerutkan dahinya saat mendengar salah satu jenis ikan yang disebutkan oleh Arsa barusan.
“Iya, sejenis ikan tambak tapi sudah di presto jadi durinya bisa dimakan.”
“Saya belum pernah coba makan ikan bandeng.”
“Nanti coba ya, Meener.”
“Tidak bisa, Perempuan. Saya tidak bisa makan. Hanya bisa lihat kamu dan Djiwa makan.”
Arsa terkekeh atas jawaban Jan barusan.
Masih dengan terus bercakap-cakap seraya mengiringi langkah Jan yang mengekori Arsa yang hanya berjarak beberapa langkah saja di depannya. Tak melupakan embernya yang tadi menampung cucian, Arsa turut membawanya masuk dan melektakkannya di samping mesin cuci yang ditempatkan di ruang mencuci, dekat dengan kamar mandi utama.
“Saya juga sebenarnya nggak terlalu suka ikan, Meener. Tapi, Djiwa doyan ikan banget.”
“Saya juga tidak suka ikan. Banyak sekali duri.”
“Ya, itu betul.”
Terlihat Jan menggedikkan kedua bahunya, “memang Djiwa dapat ikan itu dari mana?” tanya Jan lagi.
“Tadi Djiwa belikan waktu dia beli rokok di warung depan.”
Suara Arsa melirih begitu dia mendengar suara pintu kamar yang dibuka. Sepertinya Djiwa hendak keluar untuk… mandi mungkin.
Ini adalah hari minggu, hari dimana biasanya Djiwa hemat air. Alias tidak akan mandi kalau belum merasa gerah.
Paham atas perubahan itu, Jan pun hanya ber-oh ria. Dia teringat di jalan depan sana ada penjual sayur yang juga punya toko sembako besar. Djiwa pasti beli rokok dan ikan bandeng itu disana.
“Saat saya berada di perkebunan, saya juga sering merokok dengan yang lainnya,” cerocos Jan begitu saja karena saat mendengar kata rokok tadi.
Tiba-tiba saja ingatan sosok Hantu Belanda kembali pada beberapa ratus tahun lalu.
Saat itu akhir di awal abad 19, dimana ada panen raya yang membuat banyak petani merasa berbahagia. Itu tanda dari awal kemakmuran mereka akan segera dimulai. Maka tak melewatkan kesempatan meski itu kecil untuk bersenang-senang sejenak di perkebunan yang baru mereka panen kopinya.
Tingwe[1], mereka menyebutnya begitu. Sama seperti merokok pada umumnya, hanya saja saat itu mereka yang ada disana termasuk Jan meracik sendiri rokok mereka. Makanya disebut tingwe.
“Yang lainnya?” tanya Arsa merujuk pada siapa yang dimaksudkan oleh Jan barusan.
“Iya… saya dan yang lainnya, mereka yang bekerja di perkebunan kopi. Kami biasa mencampurkan klembak dari Dieng untuk membakar rokok.”
“Klembak? Kembang ya?” tanya Arsa yang semakin penasaran.
Penggalan-penggalan kalimat yang keluar dari dalam mulut Jan banyak sekali menarik perhatiannya sejak tadi.
“Bukan. Klembak itu seperti tembakau. Kamu tahu tembakau, Perempuan?” Jan balik bertanya.
Arsa mengangguk kemudian, dia tentu tahu apa itu tembakau. Meski Arsa tidak pernah mencobanya dan merasakan bagaimana rasa dari salah satu bahan utama pembuatan rokok itu.
“Meener pada zaman itu pasti orang kaya ya?” tanya Arsa lagi, diselingi cengiran polosnya.
Pertanyaan Arsa barusan dijawabi dengan gelengan, “bukan saya. Itu milik ibu saya. Saya juga bekerja disana, sama dengan pribumi lainnya. Tapi, saya lebih banyak bekerja untuk menghitung harga bahan dan produksinya.”
“Berarti Meener pintar ya?”
Terdengar dehaman setelah pertanyaan itu diucap oleh Arsa.
“Banyak pribumi yang pintar juga, Perempuan. Hanya saja… mereka tak punya banyak kesempatan untuk beberapa posisi yang bagus. Kamu paham dengan apa yang saya maksud, bukan?” jelas Jan.
Dia mengakui bahwasannya memang banyak sekali pribumi yang sebenarnya bisa untuk menempati posisi apapun pada zaman VOC berkuasa. Bukan hanya untuk jadi tukang, pesuruh atau kasarnya dibudaki saja. Hanya saja, kekusaaan bangsa Belanda saat itu masih tak terkalahkan.
Belum lagi keberadaan etnis Tionghoa yang punya misi untuk berdanagan pada abad 17 – 18 memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perekonomian bangsa.
Beberapa latar belakang itu hanya sebagian kecil dari sebab yang mengakibatkan pribumi tak punya kekuatan di negerinya sendiri.
“Meener bekerja disana juga digaji?” tanya Arsa lagi.
Rasanya saat berbincang seperti sekarang ini dengan sosok Hantu Belanda yang ditemuinya di rumah putih itu membuat Arsa seolah tengah belajar sejarah, langsung dari narasumbernya. Dengan harapan semua yang diucapkan oleh Jan itu benar adanya.
“Bangsa jin itu ‘kan suka menipu buat mengelabui manusia.”
“Ya. Gajinya saya gunakan untuk beli kuda. Saya suka berburu.”
Dahi Arsa berkerut mendengar jawaban Jan barusan, “apa hubungannya beli kuda dan berburu?”
Semakin jauh berbincang dengan sosok Hantu Belanda itu membuat Arsa semakin banyak tahu mengenai hal-hal yang tak pernah dia ketahui tentang masa-masa saat banyak orang Belanda yang menduduki tanah bangsanya.
“Saya senang berburu. Pergi ke hutan yang ada di Surabaya bersama beberapa teman.”
Dari kedua matanya yang tiba-tiba bergerak menyoroti objek dihadapannya, yang berupa vas bunga kosong di atas mesin jahit yang telah ditutup. Jan seakan kembali larut dalam memori masa lalunya. Sekelibat ingatan mengenai hari bersenang-senang itu lewat begitu saja, membuat seulas senyum terbit di wajah pucat yang biasanya menunjukkan ekspresi tak bersahabatnya itu.
Tertegun di tempatnya berada, saat tak sengaja kedua mata Arsa menangkap senyum di wajah Hantu Belanda itu.
“Bisa senyum juga rupanya,” celetuk Arsa lirih.
“Apa, Perempuan?” tanya Jan yang sayup mendengar Arsa berbisik itu.
Dengan cepat Arsa menggeleng, tersenyum gugup, “ney, bukan apa-apa Meener,” kilahnya kemudian.
Kembali pada kegiatannya dengan alat-alat mencuci pakaian, Arsa mencoba menghalau gugupnya akibat ketahuan tadi menyindir dinginnya sikap sosok Hantu Belanda yang tiba-tiba tersenyum tadi.
“Emm… ngomong-ngomong, perempuan berkebaya tadi itu apakah tinggal disini juga Meener?” tanyanya membuka topik baru perbincangan yang makin seru itu.