Pesan Dari Ibu

Rizki Pratama Ningrum
Chapter #17

BAB 16

Sama seperti Arsa, Kaivan juga memulai hari seninnya kali ini bertemu dengan orang baru.

Tentunya setelah malam tadi berhasil meyakinkan kakek dan neneknya agar bisa ikut pergi dinas keluar kota untuk urusan pekerjaan. Padahal, Kaivan bohong. Sejatinya, kedatangannya di Jakarta hari senin ini bukanlah untuk urusan pekerjaan. Tapi, Kaivan sudah membuat janji temu dengan seseorang.

Seseorang yang belum pernah dia temui sebelumnya karena keberuntungan yang belum juga berpihak padanya.

Seseorang yang tampak sulit untuk diajaknya berkomunikasi.

Seseorang yang dulunya adalah teman rumah kos mendiang mamanya, Rianti Maria.

Informasi kecil yang Kaivan dapatkan dari buku harian milik mendiang mamanya yang telah menuliskan tulisan singkat mengenai teman rumah kos di daerah Glodok.

“Ternyata usaha you buat ketemu sama I bole juga,” kalimat yang terdengar tidak ramah itu menyambut kedatangan Kaivan, di sebuah warkop pinggir jalan dekat Pasar Petak Sembilan.

“Kebetulan mama menyelipkan beberapa informasi tentang ibu,” sahut Kaivan seraya tubuhnya terduduk di kursi kayu panjang.

“Panggil Anti aja,” begitu jawaban perempuan paruh baya dengan gaya rambut pendek bob yang sudah ditumbuhi banyak uban itu.

Kaivan hanya menganggukkan kepalanya.

Tanpa ingin membuang banyak waktunya, to the point Kaivan langsung hendak mengutarakan maksud dan tujuannya menemui Rianti. Seperti pesan yang dikirimnya melalui SMS, dua hari yang lalu.

“Bu Anti – “

“Tsk! Jangan panggil bu. Sudah dikasih tahu, kok masih aja diulang,” ralat Rianti ketus.

Kaivan yang mendapati adanya raut judes perempuan paruh baya itu pun tak berkutik. Mulutnya terkatup begitu saja dan disusul dengan anggukan lagi.

Sekiranya situasi sudah mulai nyaman untuk mulai berbicara, Kaivan mulanya menghela nafas seraya melempar seulas senyum pada Rianti.

“Sorry, Anti. Saya minta maaf kalau saya bikin Anti nggak nyaman,” katanya dengan sopan.

Dihiraukannya kalimat yang barusan Kaivan ucapkan itu, Rianti justru mengeluarkan kotak rokok dari dalam tas jinjing miliknya. Perempuan baya itu langsung menyalakan korek gas yang dia simpan juga di dalam kotak rokoknya.

“Cepat, you ada perlu apa?” tanyanya sembari menyelipkan sebatang rokok filter dan membakarnya di hadapan Kaivan tanpa merasa sungkan.

“Kalau boleh saya mau tahu tentang mama semasa hidupnya beliau, Anti.”

Decakan turut hadir, menyuarakan rasa jenuh yang diungkap secara tak langsung oleh Rianti, “Mama kamu kan sudah meninggal, nggak baik ngulik cerita tentang orang yang sudah meninggal. You tahu itu ‘kan?”

Kaivan menganggukkan kepalanya, “tahu, Anti,” sahutnya kemudian.

“Nah, kenapa you masih tanyain lagi?”

“Karena saya merasa ada yang janggal tentang hubungan mama dan… bapak kandung saya.”

“Ya I nggak tahu lah. Itu ‘kan hubungan orangtua you.”

“Maaf, Anti. Tapi, saya nggak sengaja menemukan nama Anti di buku harian mama. Disitu mama sedikit banyak bercerita tentang Anti dan – “

“Kita cuma teman kos. I juga jarang kok main sama mama you.”

“Anti, tapi –“

“Udahlah. Apa yang sudah berlalu nggak perlu diungkit lagi. Orang yang sudah meninggal apalagi. Memang you mau mama you disana nggak tenang, hah?”

Masih dengan menunjukkan ekspresi wajah tenangnya, Kaivan mengangguk saja atas ucapan yang terdengar sebal dari Rianti itu.

Siang ini selain terik matahari diluar, riuh suara kendaraan di jalan besar luar sana, asap rokok tampaknya berhasil membuat Kaivan merasa sumpek akan keberadaannya itu.

“Sedikit aja, Nti. Tentang gimana mama sama bapak bisa – “

“I kasih tahu ya, you itu bukan anak haram. Ssst!”

Kaivan langsung saja mengatupkan bibirnya rapat-rapat, bermaksud memprotes begitu Rianti tadi langsung mengatainya anak haram.  

“I tahu kakek sama nenek you itu selalu bilang you itu anak haram, secara nggak langsung karena mereka itu nggak suka sama Sigit. Iya ‘kan? Tsk! Mama sama papa you itu sudah menikah, menikah sah ada wali sama penghulunya. I juga ada waktu itu.”

“Terus, Anti?”

“Udah ah, I sibuk.”

Tak mau menjelaskan secara gamblang atas hal-hal yang memang diketahuinya mengenai semasa hidupnya Meilissa, Rianti justru terlihat bersiap. Dia langsung saja berdiri dari duduknya, menyambar tas miliknya dan menentengnya sambil bersungut-sungut.

“Anti mau kemana?” tanya Kaivan yang ikut berdiri dari duduknya berusaha menahan perginya Rianti itu.

Lihat selengkapnya