Libur Idhul Adha di kampungku berlangsung seperti tahun-tahun yang lalu. Tak ada yang istimewa. Sebungkus daging sapi untuk dimasak dan dinikmati bersama. Di masjid setiap tahun selalu ada korban sapi dan juga beberapa ekor kambing untuk dikorbankan. Semuanya berasal dari luar desa. Mungkin tak ada orang kaya di desa yang mampu berkorban seekor sapi atau memang ada, tapi belum kepikiran saja untuk berkorban. Ah entahlah aku tak tahu.
Hal yang berbeda adalah seluruh anggota keluarga sangat ingin tahu, perihal aku yang diterima kerja di klinik. Bekerja di klinik adalah hal yang sangat baru. Dalam keluarga besar dan seluruh penduduk desa, tak ada yang bisa mengenyam pendidikan sampai menjadi profesi yang begitu dibanggakan. Hanya beberapa anak muda desa yang bisa kuliah. Itu pun orang tuanya memiliki ladang yang luas. Kalau tak kuliah, bagi yang mampu, mereka memilih untuk sekolah di pesantren.
Saat aku ada depan rumah, banyak yang menyapa dan bertanya, tetapi aku tak begitu menanggapi. Aku baru saja kerja 2 hari, mana bisa aku tahu semuanya. Hanya pertanyaan keluarga intiku saja yang memang benar-benar aku perhatikan. Saat kami menikmati sate daging korban di dapur keluarga, ibuku mulai menasihatiku.
"Aku senang kau kini sudah bekerja. Dari ceritamu, aku tahu kau kerasan di sana. Aku harap, gaji yang kau dapatkan akan sesuai dengan apa yang kau kerjakan. Jangan sampai kau bekerja begitu keras, tapi bayarannya tak sebanding," ungkap ibuku sambil menambahkan kecap pada bumbu sate.
Ayah sendiri sibuk memanggang sate di atas tungku kayu bakar. Ada beberapa yang sudah matang. Kedua adikku yang telah menghabiskannya.
"Kalau kerja ya yang serius. Yang niat. Yang jujur. Bukan main-main Win," tambah ayahku.
"Ya, aku akan berusaha sungguh-sungguh," jawabku langsung meraih sate yang baru saja matang dari tangan ayah. Vino rupanya menginginkannya lagi.
"Vin giliran kakak! Kamu sudah habis 3 tusuk," seruku sangat senang berebut dengan kedua adikku. Nessa, adikku yang lain cemberut.
"Kakak, aku baru satu," serunya protes. Aku memberikan satu tusuk untuknya. Kami pun kembali menikmati sate dengan nasi hangat yang baru matang.
"Kakak apa kalau kakak kerja di klinik, lama-lama bisa jadi dokter?" tanya Vino menatapku dengan rasa ingin tahu yang besar.
"Tentu saja tidak. Kau harus kuliah dulu. Baru bisa," sahutku tersenyum. Yang lainnya juga tersenyum dengan pertanyaan konyol Vino itu.
Tiba-tiba nenek muncul dari arah pintu dapur.
"Kalian membuat sate? Aku baru saja membuat dendeng ragi. Win kau bisa membawanya, saat balik nanti sebagai lauk," seru nenek berjalan mendekat dan duduk di sampingku.
Dendeng ragi adalah lauk kesukaanku. Meskipun mungkin jumlah dagingnya hanya satu ons tapi parutan kelapanya nyaris sebutir.
"Pasti enak ini Nek," ujarku dengan mata berbinar.