Arin sungguh tertarik dengan kisah cintaku. Ia tak percaya, kalau aku sama sekali tak pernah berpacaran. Ia mengira aku berbohong. Kisah cintaku adalah sebuah kisah yang mungkin tak bisa disebut sebuah cerita percintaan. Kisahku hanyalah kisah cinta sepihak saja. Mbak Arin mengingatkan aku dengan cintaku pada Yoga.
Yoga adalah temanku mulai dari SMP sampai SMA. Ia juga tinggal di daerah pinggiran sepertiku. Ia anak pertama dari 3 bersaudara yang semuanya perempuan. Aku mulai jatuh hati padanya sejak duduk di kelas 2 SMP. Kebetulan ia duduk tepat di belakangku. Mulanya karena sering mengerjakan PR juga tugas bersama-sama. Aku jadi terbiasa bersamanya. Canda tawanya mulai mengisi hari-hariku yang sepi. Aku tergolong anak pendiam. Juga bisa di bilang agak kuper. Teman-temanku sedikit. Lain halnya dengan Yoga. Dia anak ramah dan menyenangkan. Dia juga humoris. Semua anak menyukainya.
Kami terus belajar bersama sampai kami lulus SMP. Nilai kami lumayan bagus dan kami pun mendaftarkan diri di SMU yang sama di satu kecamatan. Kami pun satu sekolah, tapi kami tak pernah satu kelas. Baru kelas 3 kami dipertemukan dalam kelas yang sama.
Situasinya sangat berbeda dengan masa SMP. Di SMP, aku masih tak begitu menyadari akan perasaan cinta. Saat SMA itulah perasaan itu begitu nyata. Aku sendiri tak tahu perasaan Yoga seperti apa terhadapku. Yang jelas, tiap aku berpapasan dengannya di koridor sekolah, hatiku berdebar-debar tak karuan. Aku jadi membisu diam seribu bahasa dan tak sanggup menatap matanya apalagi menyapanya.
Saat SMA dia tumbuh menjadi cowok yang 2x lebih ganteng daripada waktu SMP. Banyak yang jatuh hati padanya. Ia menjadi salah satu idola cewek adik kelas. Aku tak bisa berkonsentrasi penuh dalam kelas. Keberadaannya memorak-porandakan jiwaku. Saat itu aku sadar, betapa aku jatuh cinta padanya. Bukan sekedar cinta monyet.
Meski perasaanku begitu besar padanya, tapi aku tak punya cukup keberanian untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Untuk menunjukkan perhatian pun, aku tak sanggup. Yang aku lakukan malah sebaliknya. Berusaha menghindari kontak apa pun dengannya. Aku tak ingin teman-teman satu kelas tahu akan perasaanku. Jadi, aku tetap menyimpan perasaanku sampai kelulusan dan berlanjut sampai detik ini. Aku yakin perasaanku tak pudar, walau aku telah lama tak berjumpa dengannya. Ingatanku tak urung sering melayang pada senyumannya.
"Jadi, tak apakan kalau misalnya ada cowok lain yang mungkin bisa mengisi hati Mbak Win," seru mbak Arin, saat kami mulai terbaring di tempat tidur.
"Ya, aku akan coba," kataku tersenyum padanya. Aku memejamkan mata. Tak urung bayangan Yoga muncul di benakku
"Cinta Mbak Win terhadap Yoga itu cuma semu. Hanya perasaan Mbak saja. Mulai besok cobalah berkenalan dengan cowok lain. Buka hati Mbak Win. Tak ada cinta seperti di flm-film itu. Yang ada adalah cinta yang datang dan pergi seiring datang dan perginya para cowok dalam kehidupan kita," ucap mbak Arin dengan suara yang makin lemah.
"Memang Mbak Arin sudah pacaran berapa kali?" Aku bangun dari tidurku.
"Mungkin 3 atau 4. Entahlah, aku lupa Mbak," jawabnya hampir tak terdengar.
Aku melihat mbak Arin sudah mulai tertidur. Aku berbaring lagi dan menaikkan selimutku. Ku dengar bunyi gerimis di luar. Udara menjadi lebih dingin dari biasanya.
Keesokan harinya, tepat pukul 10 pagi aku dan mbak Arin sudah bersiap-siap untuk keluar. Klinik biasanya akan tutup sama jam 5 tiap hari minggu. Jadi, kami punya waktu sekitar 6 jam. Aku mulai membayangkan wajah Sardi, teman mas Bowo. Apa setampan Yoga?
Kenapa aku jadi membandingkanya. Kenalan saja belum. Kata mbak Arin, Sardi adalah sahabat mas Bowo sejak ia masuk tentara. Sardi berasal dari Magetan. Ia juga tentara sama dengan mas Bowo.
Tak sampai menunggu lama, mas Bowo datang tepat waktu. Sardi dengan potongan cepaknya membawa motor juga. Jadi kami sama-sama berboncengan menuju taman kota. Wajah Sardi cukup lumayan sih untuk ukuran seorang tentara. Wajahnya yang persegi, mengingatkanku akan tokoh utama telenovela Maria Marcedes. Kulitnya bersih. Tubuhnya kekar, meski tak terlalu tinggi.
Kesan pertama aku berkenalan dengan Sardi adalah ia sangat sopan. Memegang prinsip Lady First. Mungkin para cewek nyaman dengan sikapnya itu, tapi bagiku itu terasa kaku dan membuat aku merasa tertekan. Aku tak bisa bicara bebas seperti biasanya. Aku pikir dia juga merasa tak nyaman duduk bersamaku. Ia berulang kali berbicara pada mas Bowo atau memandang pada pengunjung taman daripada menatap wajahku.