Balada Admin Klinik

Dwiend
Chapter #11

Jomblon N Sendiri

Setelah perkenalan itu, mbak Arin tak pernah lagi berusaha mendekatkanku dengan Sardi. Ia juga tak berani mengenalkan aku pada pria mana pun. Aku cukup berterima kasih akan sikapnya itu. Tidak selamanya jomlo itu menyedihkan. Come on! Usiaku baru 20 tahun. Masih banyak yang ingin aku lakukan. Aku ingin membahagiakan keluargaku. Masih banyak Film-film yang ingin aku tonton. Aku juga masih ingin berinternet ria dengan bebas. Melihat kehidupan mbak Arin yang begitu terikat dengan mas Bowo, membuat aku semakin yakin bahwa jodohku masih jauh. Aku tidak suka keterikatan. Aku masih ingin menunggu, siapa tahu putaran takdir mempertemukan aku dengan Yoga.

Tidak lama berselang, setelah hampir dua bulan lebih bekerja, mbak Arin diterima di sebuah rumah sakit di daerah Tuban. Daerah asal mbak Arin. Ada saudaranya yang telah bekerja di sana terlebih dahulu. Jadi ia diterima melalui koneksi saudaranya. Yah, aku harus menerima kenyataan kalau sistem koneksi itu suatu hal yang lumrah. Tinggal menghitung hari saja mbak Arin akan keluar dari klinik.

Aku nyaris lupa dengan Sardi saat tiba-tiba ada telepon masuk. Awalnya seorang pria mencari mbak Arin. Aku pun segera memanggil mbak Arin, tapi pria itu mencegahku.

"Apa Mbak Win udah lupa sama aku?"

"Siapa ya?" kataku sambil berusaha mengingat-ingat.

"Aku Sardi Mbak, teman mbak Arin juga mas Bowo."

"Ohh ya, maaf udah setengah lupa. Ehmm, ada apa ya?" kataku agak terkejut juga.

"Nggak ada hal penting sih. Cuma aku ingin tanya sesuatu."

"Sesuatu!!!" Aku mngernyitkan dahi.

"Mbak Win sebenarnya lulusan apa? Trus saudaranya ada berapa?" tanya Sardi. Nadanya kini lebih akrab. Aku bingung harus langsung menjawab atau tidak. Mengapa ia tanyakan hal itu.

Bukankah ia sama sekali tak tertarik padaku? Bahkan sejak pertama kami berkenalan.

"Aku hanya lulusan SMU Mas. Saudaraku banyak. Aku harus bekerja membantu biaya sekolah adik-adikku." Akhirnya aku menjawab apa adanya saja. Aku tak bisa mengarang kebohongan dalam waktu singkat.

"Begitu ya. Kalau begitu udah ya Mbak Win. Aku tutup dulu," ujarnya membuat aku tambah tak mengerti.

Aku menutup telepon dengan berbagai pikiran. Apa dia mundur setelah tahu aku tak punya gelar. Keluargaku juga bukan keluarga berkecukupan. Aku tak tahu pasti. Yang jelas, ia tak pernah menelepon klinik lagi setelah hari itu. Aku juga tak menceritakan telepon Sardi ke mbak Arin.

Mbak Arin akhirnya keluar dari klinik tepat setelah 3 bulan ia bekerja. Aku harus menerima kenyataan bahwa akan ada perawat baru lagi nanti. Semoga saja perawat yang punya pengalaman, jadi bisa langsung bekerja tanpa harus penyesuaian lagi.

Aku sangat senang mbak Nissa muncul lagi untuk menemaniku. Seperti biasa, sampai ada perawat baru.

"Mbak Nissa, aku merindukanmu!!" sambutku membuka pintu klinik. Saat itu pukul 10 malam. Mbak Nissa pulang dari kuliah malamnya.

Lihat selengkapnya