Hampir 2 bulan tanpa perawat, akhirnya mbak Nissa mengabarkan akan ada perawat baru lagi. Dengan keadaan klinik yang masih tak jelas, aku jadi kurang bersemangat. Namun, aku agak penasaran juga akan seperti apa orangnya yang akan menjadi perawat Kedung Kemiri berikutnya.
"Lebih baik tak pakai perawat saja Mbak Win," celetuk dr. Syantik saat kami membahas tentang perawat baru yang akan segera tiba.
"Memang kenapa dok?"
"Ribet aja. Nanti pasti ngajari lagi. Lalu kalau udah bisa, ehh malah hengkang seenaknya ke rumah sakit besar. Coba kalau disini ada sistem kontrak. Jadi, pegawai nggak seenaknya keluar-masuk gitu aja,"
"Ya, mau gimana lagi Dok. Jalani aja. Moga aja perawat yang baru nanti, perawat yang sudah berpengalaman dan juga betah di sini,"
"Ya moga aja," kata dr. Syantiik
Tak menunggu waktu lama perawat baru itu pun datang. Ia datang setelah Magrib dan diantar sebuah mobil. Seorang pria paruhbaya yang kelihatanya adalah ayahnya, mengantarnya sampai ke dalam klinik. Dengan sopan pria itu menitipkan anak perempuannya kepadaku dan juga dr. Syantik. Nama perawat itu adalah mbak Asih. Orangnya cantik, bertubuh sintal dan tidak terlalu tinggi. Ia mengingatkanku pada artis Julia Perez yang saat itu sangat beken. Kelihatannya ia berasal dari keluarga yang cukup berada. Tempat tinggalnya ada di Surabaya pusat.
Singkat cerita aku dan dr. Syantik langsung menyukai mbak Asih. Orangnya supel dan pekerjaannya sangat cekatan. Boleh dibilang ia sudah berpengalaman. Aku heran kenapa ia tak bekerja di rumah sakit besar saja. Mungkin ada alasan tertentu yang membuatnya mau bekerja di klinik ini. Tidak hanya kami, mbak Asih juga langsung jadi pusat perhatian kaum adam. Ia jadi favorit pasien laki-laki. Gaya bahasanya yang luwes membuat pasien laki-laki jadi betah. Sering aku mendengar godaan dari beberapa laki-laki. Semua itu bagiku tak jadi masalah. Malah menguntungkan juga bagi klinik. Klinik jadi ramai dengan pasien laki-laki. Mbak Asih adalah magnet dari para lelaki. Herannya ia tak memiliki pacar yang setia datang tiap akhir pekan seperti mbak Arin. Ia juga masih single.
Tepat di bulan kedua Mbak asih bekerja, ia membawa sepeda motor barunya ke dalam klinik. Ia bisa naik motor. Lumayan saat butuh sesuatu kami tak perlu berjalan kaki lagi. Mbak Asih cukup membantu. Aku terkadang diajaknya jalan-jalan di sekitar klinik saat klinik tutup. Kami menikmati kebersamaan layaknya saudara kandung. Kami berbelanja, memasak dan juga menikmati masakan bersama-sama. Biaya hidup jadi sedikit hemat, karena memasak tiap hari. Untuk pertama kalinya beban kerja di klinik menjadi sangat ringan. Aku jadi punya kesempatan membersihkan lingkungan sekitar klinik. Waktu libur akhir pekan aku habiskan untuk membersihkan saluran air. Memanggil tukang leding dan juga membenahi kelistrikan dengan memanggil tukang listrik. Pemilik klinik rupanya tidak mau tahu bagaimana keadaan kliniknya sama sekali. Mereka hanya tahu keuntungan yang terus mengalir ke rekening mereka.
Musim hujan mulai memasuki masa deras-derasnya. Untungnya daerah Kedung Kemiri bukan termasuk wilayah rawan banjir. Namun, lantai kamar pegawai entah mengapa dibangun lebih rendah dari lantai ruangan lain. Hal yang aku takutkan adalah, saat selokan tak mampu menampung air hujan kemungkinan air akan mengalir ke arah kamar mandi terus mengalir menuju ke kamar. Di selokan tikus-tikus gotnya juga sangat besar. Aku sendiri begidik begitu pertama kali melihat tikus got muncul di dapur. Tidak seperti tikus rumah yang sering aku lihat seperti biasanya. Ini lebih besar sedikit. Mengingat semua itu aku harus benar-benar memelihara kebersihan klinik dan juga lingkungan sekitar klinik.
Hampir tak ada keluhan tentang mbak Asih. Sampai beberapa hari kemudian ia mulai sering keluar di jam istirahar dan kembali terlambat. Awalnya aku bisa memakluminya. Namun, kian hari mbak Asih tambah sering pergi meninggalkan klinik. Alasanya banyak. Orangtuanya sakitlah, bertemu dengan teman dll. Dr. Syantik mulai memberi teguran padanya. Aku sendiri tidak punya wewenang karena posisi admin setara dengan perawat. Rupanya mbak Asih cukup respons dengan teguran itu. Ia kembali bekerja dengan disiplin di klinik. Meskipun terkadang ia masih sering keluar klinik dengan motornya, tapi ia tak pernah datang terlambat saat jam kerja di mulai.
Aku sendiri tidak tahu persis, apa yang sebenarnya dilakukan mbak Asih di luar sana. Bilangnya ada urusan. Aku tak berani bertanya lebih jauh. Mbak Asih sudah banyak meringankan pekerjaan klinik, jadi aku sendiri tak mau jadi terlalu cerewet. Terkadang, entah itu ibunya atau bapaknya menanyakan keberadaan mbak Asih lewat telepon klinik. Mbak Asih berpesan kepadaku untuk bilang pada keluarganya kalau dia lagi disuruh dokter membeli alat medis yang tak ada di klinik. Untuk beberapa kali alasan itu menjadi cukup masuk akal, tapi lama-kelamaan mbak Asih menjadi terlalu sering keluar sehingga alasan itu tak bisa lagi untuk digunakan. Keluarganya tahu kalau aku berbohong. Keluarganya memintaku untuk tidak menutup-nutupinya lagi. Aku jadi bingung. Aku perlu bicara dengan mbak Asih. Gimanapun ini jelas salah.
"Mbak Asih kemarin bapak Mbak Asih telepon. Seperti biasa aku jawab seperti yang Mbak Asih sarankan,"
"Trus kenapa Win?" kata Mbak Asih sambil membersihkan ikan yang telah kami beli tadi.
"Kayaknya keluarga Mbak tahu kalau aku udah membohongi mereka. Ayah Mbak Asih bilang kepadaku agar jangan menutupi apapun juga tentang Mbak Asih. Terus terang Mbak Asih Aku sendiri lama-kelamaan juga nggak enak kalau terus-terusan berbohong. Sekali dua kali mungkin bisa dipercaya tapi kalau berulang kali. Semua juga bakal tau Mbak,"