"Maaf ada yang bisa saya bantu Pak?" kataku berjalan mendekatinya.
"Maaf Mbak saya Bapaknya mbak Asih. Mbak Asihnya ada?" katanya dengan suara agak bergetar.
Aku terdiam sejenak. Aku tak menyangka bapak mbak Asih akan datang. Pikiranku berputar. Apa yang harus aku katakan sekarang?
"Bapak masuk dulu," kataku akhirnya mempersilakan bapak itu masuk.
Aku ke dapur dan membuatkanya teh hangat. Aku nyaris tak percaya bapak mbak Asih seingatku dulu waktu mengantarkan mbak Asih tampak tak setua dan seringkih ini. Mau bagaimana lagi, aku harus berterus terang padanya tentang keadaan anaknya.
"Mbak pasti orang yang sering menjawab telepon saya?" tanya bapak itu menyesap tehnya. Aku hanya menggangguk pelan sambil berpikir bagaimana cara mengatakan segalanya.
"Kenapa Bapak sampai kemari?"
"Entah mengapa pikiran Bapak tak enak. Wajah Asih terus terbayang dimata bapak. Aku mengkhawatirkanya." Tampak raut mukanya berkerut. Wajahnya menyiratkan beban yang tak kunjung usai.
"Mbak Asih baik-baik saja Bapak. Mbak Asih udah dewasa. Dia bisa menjaga diri kok," ucapku berusaha menghiburnya.
"Lantas di mana Asih sekarang?" tanya bapak itu. Pandanganya menuju ke arah dalam klinik. Seolah ingin memanggil mbak Asih untuk segera keluar.
Aku menghela napas. "Maaf sebelumnya Pak. Sebenarnya saya berbohong sama Bapak. Mbak Asih sebenarnya tidak ada di klinik Pak sejak sehari yang lalu, tapi tenang Pak, mbak Asih pamit pergi ke rumah temannya. Hari ini dia akan balik ke klinik. Saya tidak bisa memastikan jam berapa ia akan kembali," kataku dengan hati-hati.
Aku takut melihat kondisi bapak ini yang kelihatanya kurang sehat. Pria itu menggeleng beberapa kali. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Mbak jangan mudah percaya sama Asih. Asih pasti terjerumus lagi sama barang haram itu. Salah apa aku sampai Allah menghukum aku." Orang tua itu pelan-pelan menepuk dadanya. Bapak itu mulai menangis. Aku terpaku tak bisa berkata-kata. Barang haram? Maksudnya apa?
"Segala hal telah kami lakukan Nak, tapi Asih tetap mengambil jalan yang salah. Suka dugem dan kehidupan malam. Entah uang siapa yang ia pakai sekarang. Aku kira dia akan melupakan kegemarannya yang merusak itu, begitu ia diterima di klinik ini Nak. Terus terang awalnya keluarga kami begitu senang Asih bisa bekerja lagi dan memulai dari awal lagi."
"Uang? Maksud Bapak?" kataku hampir saja langsung ingin menceritakan kalau mbak Asih telah mengambil uang klinik.
Bapak itu mengusap matanya dengan tangannya yang bergetar. Matanya kini menerawang.