Balada Admin Klinik

Dwiend
Chapter #18

Undangan Pernikahan

Aku tak bisa berkata-kata. Baru kali ini aku melihat adegan kekerasan dengan mata kepalaku sendiri. Mbak Nissa sama sepertiku. Terkejut bercampur takut. Bapak mbak Asih sungguh tak bisa dihentikan. Darah tingginya mungkin saja kambuh.

Beberapa warga sekitar klinik mulai berdatangan. Belum sempat warga turun tangan, seorang pemuda datang dan menghentikan tindakan bapaknya mbak Asih. Rupanya pemuda itu adalah adik laki-laki mbak Asih. Dengan raut wajah agak malu, ia segera membawa bapaknya naik motor. Sementara mbak Asih dengan wajah babak belur, sambil menangis masuk ke dalam taksi oranye.

Sebelum masuk ke dalam taxi, mbak Asih masih sempat melihatku dengan sorot mata penuh dendam. Aku langsung bergegas masuk. Jantungku agak berdebar. Aku mengambil segelas air putih. Aku terduduk. Kurasakan tanganku begetar memegang gelas. Aku mungkin sedikit shok saja. Sungguh kejadian yang tak mungkin aku lupakan.

Aku berjalan menuju ke kamar mandi. Aku ambil wudu dan salat ashar. Mungkin dengan salat, segala perasaan tidak enak langsung hilang. Mbak Nissa menyusul salat di sampingku saaat aku selesai salam. Kemudian dt. Syantik juga menyusul salat. Kami saling bersalaman.

"Mbak Win lebih baik klinik khusus hari ini kita tutup. Rasanya tak mungkin kita terus membuka klinik ini sampai malam, setelah peristiwa ini," kata mbak Nissa kembali dengan raut wajah tenang dan tegas.

"Aku ingin tidur Mbak," kataku lemah. Terus terang jantungku masih terasa berdebar.

"Betul Mbak, Aku tadi sangat takut sekali. Untungnya saudaranya tadi datang. Kalau sampai terlambat, pasti warga yang akan ikut campur. Urusannya jadi tambah repot lagi," ucap dr. Syantik sambil mengelus dadanya.

Aku naik ke tempat tidur. Tampaknya mbak Nissa masih melanjutkan cerita mereka soal mbak Asih. Kepalaku sendiri terasa berdenyut-denyut sakit. Mbak Nissa membuatkanku teh hangat kemudian memberiku obat yang diberikan dr. Syantik. Mungkin itu sejenis pil penenang.

Kemudian aku tak sadar dan tak ingat apa pun. Tatapan mbak Asih saat terakhir kali itu begitu menghujam di otakku. Aku sangat tertekan. Rasa bersalahku menjadi sangat besar.

Aku terbangun terlalu pagi. Kini keadaanku sudah lebih tenang. Tadi malam aku benar-benar tidur dengan nyenyak. Jam masih menunjukkan pukul 4. Aku membuka jendela kamar. Menikmati suasana dini hari.

Berusaha memikirkan segala yamg terjadi di klinik ini selama mbak Asih bekerja. Berusaha memandang kejadian dan kejadian dengan pikiran jernih dari berbagai sudut pandang. Aku menikmati angin yang berdesir lembut. Samar-samar aku mendengar suara pujian dari masjid terdekat. Sebentar lagi adzan subuh akan berkumandang.

Aku jadi teringat kampungku. Sudah hampir 3 bulan aku tak pulang. Sejak setahun aku bekerja di klinik, hanya 2 kali aku pulang. Sebenarnya walaupun uangku pas-pasan, aku bisa saja pulang dengan membawa uang yang tersisa, tapi keadaan yang tak memungkinkan.

Ada lumpur yang tiba-tiba meluap di daerah Porong milik perusaahan LAPINDO. Ini membuat jalur Malang -Surabaya terjebak macet. Ada banyak desas-desus tentang kejadian ini. Aku memilih tak pulang. Mungkin nanti setelah kejadian ini telah lebih tenang dari banyak spekulasi.

Lihat selengkapnya