Balada Admin Klinik

Dwiend
Chapter #22

Antara Cinta dan Pilihan Orang tua

"Mungkin kami para dokter bisa bergaul dengan siapa pun Mbak tapi, kami tetaplah seseorang yang punya nilai lebih. Kami menempuh pendidikan dengan biaya yang tidak sedikit. Untuk menjadi seorang dokter kami juga harus melewati masa-masa sulit saat kuliah. Belum lagi waktu KOAS dan juga PTT. Mbak Win orang cerdas pastinya bisa memikirkan hal itu. Menjadi dokter penanggung jawab juga punya banyak resiko. Mengapa kita harus membayar dokter penanggung jawab setiap bulan? tentunya segala hal yang terjadi di klinik ini akan jadi tanggung jawabnya. Seumpama ada malpraktik atau yang lainnya dialah yang akan menanggung semuanya," tandas dr Syantik membuatku merasa tak enak.

"Maafkan aku Dok. Mungkin aku selama ini terlalu lancang atau bertindak kurang hormat pada Dokter. Ya maklumlah seperti kata dokter Puji aku anak udik. Pendidikan hanya SMU saja. Tapi aku bukan orang yang kurang adab. Aku sungguh tak tahu kalau wanita tadi adalah dokter penanggung jawab klinik ini. Aku sama sekali tak tahu tugas dokter penanggung jawab itu apa. Aku hanya tahu apa yang ditugaskan padaku," ujarku yang merasa begitu rendah di mata kalangan berpendidikan seperti mereka.

"Mungkin Mbak Win bisa menelpon dokter Puji dan meminta maaf secara pribadi padanya kalau Mbak Win benar-benar merasa bersalah," ucap dr. Syantik menghela nafas seraya berjalan masuk ke ruangan dokter.

Minta maaf tentu saja aku tak akan melakukannya. Tak ada kesalahan yang aku lakukan selain bertindak kurang sopan. Aku pikir kita terlahir sama tapi kenapa harus diperlakukan berbeda. Bagiku orang yang bisa dihormati adalah orang yang bisa menghargai keberadaan manusia apa pun keadaannya. Mereka meminta kita menghormati mereka karena punya pendidikan lebih tinggi, profesi terhormat atau jabatan tertentu tapi mereka memperlakukan kita secara semena-mena hanya karena status kita yang lebih rendah. Sangat tidak adil. Pada kenyataannya itulah yang terjadi dan berlaku di dunia kerja mana pun.

Sejak hari itu aku mulai banyak berpikir. Aku sadar kalau kehidupanku dan juga dr. Syantik itu berbeda. Kita tak akan bisa setara baik dalam pergaulan personal atau pun pekerjaan. Gimanapun posisiku lebih rendah dari dr. Syantik jadi aku merasa harus menjaga jarak dengannya. Dr Syantik bisa berpikir kalau cinta tak mengenal batasan tapi soal hubungan antar pergaulan itu soal yang lain lagi.

Karena aku menjaga jarak dengan dr. Syantik suasana yang tadinya terasa akrab dan hangat kini menjadi dingin dan kaku. Dr. Syantik kini jarang ikut duduk di meja konter berbincang atau sekedar bermain game. Ia kini hanya berada di ruangan dokter menunggu pasien datang. Aku sendiri dengan segala kesibukan seorang admin lebih fokus bekerja sebaik mungkin.

Saat tidak bekerja sebagai dokter jaga dr. Syantik kalau tidak ada acara keluar, dia lebih sering berada di kamar dokter. Kami yang biasanya pergi berbelanja bareng setiap pagi dan juga memasak kini tak pernah melakukannya lagi. Dr. Syantik lebih sering makan di luar. Hanya mas Soni yang setiap pagi akan tersenyum kecil padaku sambil mengantarkan sarapan untuk dr. Syantik. Aku sendiri memutuskan untuk tetap berbelanja dan memasak untuk menghemat kebutuhanku.

Kisah cinta antara mas Sony dan dr. Syantik masih berlanjut. Dr. Syantik rupanya membatasi keinginannya untuk bercerita banyak tentang perkembangan hubungan mereka. Aku juga menahan diri untuk bertanya tentang mereka. Hubungan mereka yang tidak direstui rupanya juga menjadi perhatian salah satu sahabat dr. Syantik yang terkadang menggantikannya bertugas jikalau jadwalnya berbenturan atau berhalangan.

Salah satu sahabat dr. Syantik bernama dr. Mely. Dia berasal dari universitas yang sama dengan dr. Syantik dan juga satu angkatan. Dari dr. Melylah aku sedikit tahu tentang latar belakang kehidupan dr. Syantik.

"Tentu saja keluarga mbak Syantik tak merestui hubungan mereka. Aku sendiri tak habis pikir bagaimana mbak Syantik tak tertarik dengan pria yang dijodohkan padanya. Pria itu memiliki sebuah pabrik peralatan kesehatan, usia juga tak terpaut jauh dengan mbak Syantik. Wajahnya juga cukup lumayan. Aku sebagai sahabatnya sangat menyayangkan pilihan mbak Syantik," terang dr. Mely sambil mendesah panjang.

Lihat selengkapnya